RUMAH “DAMAI”DI SUDUT KOTA
Malam ini terasa berbeda dan sangat
kontras dengan yang selama delapan bulan ini kujalani, ruangan penuh asap
rokok, ketidakberaturan, dan sampah dimana – mana, tidak seperti kontrakanku yang
bersih dan “nyaman”, yah fasilitas oke. Kawan,
kali ini ku bercerita tentang kost teman-temanku yang damai.
Malam
kian larut tapi sudut-sudut kota khatulistiwa makin sibuk, muda – mudi berjibun
melintasi jalanan kota, kusadari malam ini adalah malam minggu, saat mereka
mereka yang merindukan “kesenangan” keluar rumah dan aku menjadi salah satunya,
jam sepuluh ini sudah waktunya aku pulang dari liqo (kajian intensif
memperdalam ajaran agama) tapi jalur yang kuambil kali ini berbeda, jika
biasanya aku harus memutar bundaran digulis dan berbelok kekanan tapi kali ini
kuda besiku aku arahkan ke kiri, berbelok kedaerah kota baru, setelah melakukan
“perundingan” melalui pesan singkat untuk menginap di tempat kost kawanku SMA
yang kini berkuliah di sekolah tinggi perguruan didaerah itu, aku lalu memacu
gas motorku untuk segera kekostnya, tak cukup lama memang, hanya cukup lima
belas menit saja, tapi karena lapar aku memutuskan untuk berhenti ditepi jalan
kemudian memesan makanan, sate, makanan tanah jawa, makanan leluhurku pula,
karena aku berasal dari sana, konon aku memiliki empat darah yang mengalir di
badanku, ada melayu brunei-jawa dari ibuku, dan melayu sambas-sunda dari
ayahku, itu sering juga membuatku kebingungan untuk menentukan suku, tapi
sudahlah aku cinta indonesia.
Kulihat jam menunjukkan pukul sepuluh
tiga puluh malam saat aku harus menyantap sate yang aku bungkuskan, berbekal
pinjaman piring teman kost aku mulai melahap makanan favoritku ini dengan
nikmat, rasanya begitu empuk, alhamdulillah, Allah masih mengizinkan lidahku
untuk menikmati sate ini, tahukah kau kawan, bahwa diluar sana banyak yang kaya
raya tapi tidak bisa menikmati makanan rakyat ini hanya karena takut
kolesterolnya meningkat, atau saudara kita yang kurang beruntung, hidup dengan
sehat tapi tak menemukan sedikitpun kesempatan untuk memakannya karena terjerat
kemiskinan.
Allah
tuhanku yang pemurah, jadikan aku hambamu yang senantiasa bersyukur, yang tiada
berkeluh kesah ketika yang kumakan seadanya dan tidak pula bertinggi hati
ketika menikmati sajian mahal nan lezat, segala yang ku nikmati kali ini adalah
berkah dan rezeki yang Engkau titipkan padaku, maka dari itu ingatkan aku
selalu agar senantiasa bersyukur padaMu.
Sambil mengunyah, tak lupa mataku
menjeling handphone dan kemudian memusatkan pandangan pada televisi, mansur
teman SMAku juga, memang senang sekali dengan tayangan di televisi terutama dengan
film yang bertemakan laga, dan memang kupikir juga ada channel yang konsisten dengan tayangan yang seperti ini, yah, aku
cukup menikmati apalagi terkadang mansur yang dulu beda kelas denganku
membawakan beberapa guyonan ringan seperti memuji aku saat membaca bahan ujian
di laptop dengan kalimat “rajinnya, masih
kuat aja mata jam segini baca yg begituan, hahaha”. Kedamaian hatiku
kurasakan makin enak saja setelah cukup mencharge iman dengan liqo, kini aku
merasakan kedamaian dari sisi yang berbeda, keakraban dari sebuah persahabatan,
meski mereka bukanlah orang yang sifatnya seperti apa yang kutemui dari kebanyakan
teman liqo yang kukenal. mereka terbiasa merokok, bergaya kacau, berbicara
selepasnya, dan yahh, bisa kukatakan cukup brandal, tapi pandanganku pada
mereka seperti seorang sosiolog yang memperhatikan fenomena masyarakat secara
struktural fungsional, memandang bahwa segala sesuatu yang ada dalam kehidupan
ini memiliki peran masing - masing, jadi aku memandang mereka ya seperti apa
adanya mereka, sekelompok manusia seumuranku, yang sama - sama berjuang di kota
khatulistiwa dengan gelar mahasiswa yang disandangnya, yang ketika “pulang
kampung” harus membawa gelar yang wajib dibawanya pulang, SARJANA, meskipun
sebagian ujung drama mahasiswa itu terkadang pulang kampung dengan tanpa gelar,
tapi kewajiban kami harus begitu, SARJANA, demi membalas peluh orang tua yang
membanting tulang mencarikan uang untuk kebutuhan perkuliahan dan mewujudkan
doa terikhlas mereka untuk melihat anaknya memakai toga, dan yang utama demi
mendapatkan keridhoan Tuhan yang menciptakan ilmu dan pengetahuan yang tiada
batasnya Allah subhanahu wata’ala.
Syahdan yang mengajakku menginap
disini, masih saja berburu kuda catur diteras lantai dua kost tempatku dan
tempatnya tidur sekarang, yah, sepertinya ia lupa bahwa dia yang mengajakku
tidur disini, kalau hobi, memang susah
ditinggalkan, tapi kawan harusnya lebih susah ditinggalkan itu Kurang
berlaku padanya, buktinya aku dibiarkan begitu saja berteman dengan televisi,
tapi tidak masalah, ada Allah dan mansur yang bicara sekenannya bersamaku,
kubiarkan mereka menikmati tengah malam yang cukup bersahabat ini, baru aku
tersadar sekarang sudah jam sebelas limapuluh malam.
Rasanya malam kian hening saja, tapi
petikan gitar di kamar sebelah ruang televisi makkin semangat saja, ajir
temanku menikmati sekali lagu - lagu yang mereka nyanyikan seakan mereka sedang
mengadakan take vokal atau gladi
resik untuk konser, tapi akupun menikmatinya juga, tanpa kusadari terkadang aku
mengikuti lirik – lirik lagu yang mereka nyanyikan kalau aku hafal, suaraku
cukup merdu juga loh, satu lagi nikmat Allah yang kurasakan bahwa menikmati
hidup adalah bagian dari rasa syukur kepada sang pencipta, dan bersyukur akan
menambah kenikmatan, aku menyadari itu dan kuperhatikan kawanku, betapa mereka
menikmati kehidupan yang telah diberikan Allah pada mereka, hanya saja mereka
menikmati hidup dengan sedikit egois kepada penciptanya, syukur-syukur maghrib
tak terlewatkan, tapi kehidupan mereka berjalan aman-aman saja dan tidak ada
halangan yang terlalu berarti, subhanallah, Allah maha pemurah lagi maha
penyayang, semoga ada hidayah buat mereka agar menjadi seperti ustadz jefri,
hehhe,,
Hanya bertemankan iringan musik dari
kamar sebelah dan film laga yang kotonton bersama mansur kawanku, rasanya dua
jam berlalu begitu lama, mataku mulai mengendap dan mulutku mangap-mangap nggak
jelas, ngaaantuk, kuinisiatifkan kaki untuk melangkah keteras menjumpai syahdan
sahabatku yang mengajak menginap, aku berniat pamit masuk kamar duluan, eh
ternyata aku disuruh tidur dikamar hamid, kawanku satu SMA juga, dan aku juga
tidak menolak karena ngantuk, aku sempat menikmati iringan musik dari lagu “aku
ingin pulang” Ebiet G Ade yang menjadi pengiring permainan catur mereka, aku ngga
nyangka sekali kalau yang mereka dengar lagu melow juga, pelajaran kesekian
kudapatkan “tidak selamanya anak punk
yang gayanya ga tentu menurutku itu harus mendengar musik keras, mereka juga
perlu musik slow” pemandangan ini bagaikan pelengkap kedamaian rumah kost
di tepian kota, betul saja meski mereka tinggal dalam satu rumah yang besar dan
ramai, tapi aku tidak melihat mereka bertengkar atau saling diam, tidak
kutemukan mereka saling pelit dengan barang mereka, meski berantakan, asap dan
abu rokok dimana - mana, tapi mereka bisa hidup beriringan dengan suka cita dan
menjalani kehidupan yang ramai serta beriringan, melengkapi kebutuhan teman
yang kekurangan dan berbagi dengan teman jika merasa kelebihan, dan itu cukup
sulit kutemukan dikontrakanku, tidak semua penghuni rumahku bisa kuakrabi,
terkadang saling sinis, saling ejek dan membicarakan, sampai saling tidak
bertegur sapa hanya karena rebutan remote!!!
Padahal ngakunya anak baik – baik dan ga brandal. Aku cukup malu dan
mendapatkan pelajaran yang indah malam ini.
Tidur kunikmati tanpa cerita yang
berarti, semuanya terasa biasa saja, ku letakkan tas dan laptopku diatas kasur
hamid kawanku, tepat di ujung kepalaku, dan aku tertidur dengan nyaman, walau
sempat kudengar mereka beradu komentar saat menonton laga eropa atau apa itu
aku tidak tahu jelas, yang pasti mereka mengucapkan kata – kata spanyol
beberapa kali, timnas favoritku dipiala dunia 2010, kubiarkan saja sampai suara
azan membuatku terbangun dan tertidur pulas lagi sampai matahari naik
sepenggalan.
Allah
Tuhanku, terhatur beribu ampun dihadapanmu, hambaMu yang lemah ini, karena
kelalaiannya meninggalkan ibadah wajib sholat subuh, sungguh hamba merasa tidak
enak hati padaMu ya Allah, hamba meninggalkan sholat hanya karena hamba tidak
tahu kiblat dan tidak enak membangunkan teman, maafkan hamba atas kesalahan
ini, hamba tahu dosa telah Engkau catat tapi aku mohon ampun, dan bukakan
selalu pintu hidayah padaku. Hamba Khilaf.
“Makan
apa dit? Aku bingung nih mau nyiapin apa buatmu, dirumah juga nggak ada apa
apa, gimana kalau minum sereal saja,??”
Suara syahdan memecah pagi saat kami sedang nonton televisi, “udah nggak apa,
aku juga mau pulang”, kataku menolak, karena aku berniat pulang jam delapan,
nggak enak juga kelamaan ditempat kawan, kasian orang rumah pada nyari,
mungkiiiin,,
“Eh
ngga baik pulang tanpa ngisi perut, ntar kelaparan dirumah, kita juga yang di
tuduh ga ngasi makan kamu, hehe, tunggu ya jangan pulang dulu, aku kewarung
bentar beli sarapan”. Santai
saja syahdan berlenggang keluar tanpa memberiku kesempatan berkomentar, padahal
aku berniat menitipkan uang padanya, tapi biarlah, nanti saja kalau mau pulang,
ketika pulang, memang kawanku yang satu ini selalu memberikan perhatian yang
kadang dijadikan bahan guyonan oleh kawanku, mungkin aku dianggap adik olehnya
yang lebih tua dariku, dari warungpun dia menawarkan untuk membuatkanku minuman
sereal itu, Dan menolak uang yang kuberikan. Subhanallah, kawanku pengertian
sekali, kubiarkan saja dia yang membuat minuman itu, setelah kurasa, malangnya
aku harus bilang kedia kalau minumannya tawar dan dia mempersilakanku
menambahkan gula semauku, sampailah aku pada tetesan terakhir kembali kupetik
pelajaran:
bahwa
menghormati tamu adalah sebagai kemuliaan, dan begitulah tuntunan Rasullullah,
mereka yang kupikir malas berurusan dengan ilmu agama yang terlalu detail,
nyatanya telah mempraktekkan sendiri apa yang sudah di ajarkan oleh sang
pemimpin kaum yang hebat, yang membawa nilai-nilai cinta dari Tuhannya untuk
mencerahkan kegelapan. Aku terlalu terbiasa mempersilakan kawan yang bertamu
untuk mengatakan “anggap saja rumah sendiri, “ tapi ternyata tidak semua tamu
suka diberi hak seperti itu, kawan muliakanlah tamu maka pandangan positif akan
lahir dengan sendirinya.
Kupikir sekarang sudah waktunya pulang,
jam sembilan lewat sepuluh pagi, matahari pagi begitu cerah dan panas
kurasakan, malang, aku tidak membawa sekedar baju panjang. cuaca pontianak
memang begitu menyengat kalau sedang cerah, rasanya ingin terbakar kulit ini.
Setelah pamitan dengan hamid dan syahdan aku diantar sampai depan pintu dan
melenggang dengan kuda besiku yang agak manja, yang tiap bangun pagi harus
dipanaskan minimal satu menit, kubawa cerita hari ini dengan sebuah kesan :
Kebahagiaan
dan dan kesedihan adalah dekat batasnya, dan itu berada pada pikiran kita
masing masing, apa yang menurut kita buruk terkadang dianggap baik oleh orang
lain, begitupun sebaliknya, dan sebaik-baik manusia adalah yang mengajak orang
lain pada kebaikan dan menumbuhkan cinta kasih pada sesamanya.
Rumah “damai” itu seolah menjadi saksi
bisu yang akan berbicara di hari akhir kelak, dia mengajarkan aku tidak
selamanya berkumpul dengan orang yang kita anggap “baik” akan mendatangkan kita
pada kesenangan, tidak selamanya bersama orang-orang pendiam akan membuat kita
datang pada kebahagiaan, bukan, tapi rumah itu sudah menjelaskan bahwa
kedamaian dan kebahagiaan adalah ketika penghuninya bisa tersenyum dan menjalin
kerjasama yang apik saat semua anggotanya bersedih sekalipun. Aku ingin belajar
menciptakan iklim seperti itu dirumah, amin
Allahumma amin.
Aan khosihan 26062011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar