Selasa, 13 Maret 2012

RUMAH “DAMAI”DI SUDUT KOTA


RUMAH “DAMAI”DI SUDUT KOTA
Malam ini terasa berbeda dan sangat kontras dengan yang selama delapan bulan ini kujalani, ruangan penuh asap rokok, ketidakberaturan, dan sampah dimana – mana, tidak seperti kontrakanku yang bersih dan “nyaman”, yah fasilitas oke.  Kawan, kali ini ku bercerita tentang kost teman-temanku yang damai.
Malam kian larut tapi sudut-sudut kota khatulistiwa makin sibuk, muda – mudi berjibun melintasi jalanan kota, kusadari malam ini adalah malam minggu, saat mereka mereka yang merindukan “kesenangan” keluar rumah dan aku menjadi salah satunya, jam sepuluh ini sudah waktunya aku pulang dari liqo (kajian intensif memperdalam ajaran agama) tapi jalur yang kuambil kali ini berbeda, jika biasanya aku harus memutar bundaran digulis dan berbelok kekanan tapi kali ini kuda besiku aku arahkan ke kiri, berbelok kedaerah kota baru, setelah melakukan “perundingan” melalui pesan singkat untuk menginap di tempat kost kawanku SMA yang kini berkuliah di sekolah tinggi perguruan didaerah itu, aku lalu memacu gas motorku untuk segera kekostnya, tak cukup lama memang, hanya cukup lima belas menit saja, tapi karena lapar aku memutuskan untuk berhenti ditepi jalan kemudian memesan makanan, sate, makanan tanah jawa, makanan leluhurku pula, karena aku berasal dari sana, konon aku memiliki empat darah yang mengalir di badanku, ada melayu brunei-jawa dari ibuku, dan melayu sambas-sunda dari ayahku, itu sering juga membuatku kebingungan untuk menentukan suku, tapi sudahlah aku cinta indonesia.


Kulihat jam menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh malam saat aku harus menyantap sate yang aku bungkuskan, berbekal pinjaman piring teman kost aku mulai melahap makanan favoritku ini dengan nikmat, rasanya begitu empuk, alhamdulillah, Allah masih mengizinkan lidahku untuk menikmati sate ini, tahukah kau kawan, bahwa diluar sana banyak yang kaya raya tapi tidak bisa menikmati makanan rakyat ini hanya karena takut kolesterolnya meningkat, atau saudara kita yang kurang beruntung, hidup dengan sehat tapi tak menemukan sedikitpun kesempatan untuk memakannya karena terjerat kemiskinan.
Allah tuhanku yang pemurah, jadikan aku hambamu yang senantiasa bersyukur, yang tiada berkeluh kesah ketika yang kumakan seadanya dan tidak pula bertinggi hati ketika menikmati sajian mahal nan lezat, segala yang ku nikmati kali ini adalah berkah dan rezeki yang Engkau titipkan padaku, maka dari itu ingatkan aku selalu agar senantiasa bersyukur padaMu.
Sambil mengunyah, tak lupa mataku menjeling handphone dan kemudian memusatkan pandangan pada televisi, mansur teman SMAku juga, memang senang sekali dengan tayangan di televisi terutama dengan film yang bertemakan laga, dan memang kupikir juga ada channel yang konsisten dengan tayangan yang seperti ini, yah, aku cukup menikmati apalagi terkadang mansur yang dulu beda kelas denganku membawakan beberapa guyonan ringan seperti memuji aku saat membaca bahan ujian di laptop dengan kalimat “rajinnya, masih kuat aja mata jam segini baca yg begituan, hahaha”. Kedamaian hatiku kurasakan makin enak saja setelah cukup mencharge iman dengan liqo, kini aku merasakan kedamaian dari sisi yang berbeda, keakraban dari sebuah persahabatan, meski mereka bukanlah orang yang sifatnya seperti apa yang kutemui dari kebanyakan teman liqo yang kukenal. mereka terbiasa merokok, bergaya kacau, berbicara selepasnya, dan yahh, bisa kukatakan cukup brandal, tapi pandanganku pada mereka seperti seorang sosiolog yang memperhatikan fenomena masyarakat secara struktural fungsional, memandang bahwa segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini memiliki peran masing - masing, jadi aku memandang mereka ya seperti apa adanya mereka, sekelompok manusia seumuranku, yang sama - sama berjuang di kota khatulistiwa dengan gelar mahasiswa yang disandangnya, yang ketika “pulang kampung” harus membawa gelar yang wajib dibawanya pulang, SARJANA, meskipun sebagian ujung drama mahasiswa itu terkadang pulang kampung dengan tanpa gelar, tapi kewajiban kami harus begitu, SARJANA, demi membalas peluh orang tua yang membanting tulang mencarikan uang untuk kebutuhan perkuliahan dan mewujudkan doa terikhlas mereka untuk melihat anaknya memakai toga, dan yang utama demi mendapatkan keridhoan Tuhan yang menciptakan ilmu dan pengetahuan yang tiada batasnya Allah subhanahu wata’ala.
Syahdan yang mengajakku menginap disini, masih saja berburu kuda catur diteras lantai dua kost tempatku dan tempatnya tidur sekarang, yah, sepertinya ia lupa bahwa dia yang mengajakku tidur disini, kalau hobi, memang susah ditinggalkan, tapi kawan harusnya lebih susah ditinggalkan itu Kurang berlaku padanya, buktinya aku dibiarkan begitu saja berteman dengan televisi, tapi tidak masalah, ada Allah dan mansur yang bicara sekenannya bersamaku, kubiarkan mereka menikmati tengah malam yang cukup bersahabat ini, baru aku tersadar sekarang sudah jam sebelas limapuluh malam.
Rasanya malam kian hening saja, tapi petikan gitar di kamar sebelah ruang televisi makkin semangat saja, ajir temanku menikmati sekali lagu - lagu yang mereka nyanyikan seakan mereka sedang mengadakan take vokal atau gladi resik untuk konser, tapi akupun menikmatinya juga, tanpa kusadari terkadang aku mengikuti lirik – lirik lagu yang mereka nyanyikan kalau aku hafal, suaraku cukup merdu juga loh, satu lagi nikmat Allah yang kurasakan bahwa menikmati hidup adalah bagian dari rasa syukur kepada sang pencipta, dan bersyukur akan menambah kenikmatan, aku menyadari itu dan kuperhatikan kawanku, betapa mereka menikmati kehidupan yang telah diberikan Allah pada mereka, hanya saja mereka menikmati hidup dengan sedikit egois kepada penciptanya, syukur-syukur maghrib tak terlewatkan, tapi kehidupan mereka berjalan aman-aman saja dan tidak ada halangan yang terlalu berarti, subhanallah, Allah maha pemurah lagi maha penyayang, semoga ada hidayah buat mereka agar menjadi seperti ustadz jefri, hehhe,,
Hanya bertemankan iringan musik dari kamar sebelah dan film laga yang kotonton bersama mansur kawanku, rasanya dua jam berlalu begitu lama, mataku mulai mengendap dan mulutku mangap-mangap nggak jelas, ngaaantuk, kuinisiatifkan kaki untuk melangkah keteras menjumpai syahdan sahabatku yang mengajak menginap, aku berniat pamit masuk kamar duluan, eh ternyata aku disuruh tidur dikamar hamid, kawanku satu SMA juga, dan aku juga tidak menolak karena ngantuk, aku sempat menikmati iringan musik dari lagu “aku ingin pulang” Ebiet G Ade yang menjadi pengiring permainan catur mereka, aku ngga nyangka sekali kalau yang mereka dengar lagu melow juga, pelajaran kesekian kudapatkan “tidak selamanya anak punk yang gayanya ga tentu menurutku itu harus mendengar musik keras, mereka juga perlu musik slow” pemandangan ini bagaikan pelengkap kedamaian rumah kost di tepian kota, betul saja meski mereka tinggal dalam satu rumah yang besar dan ramai, tapi aku tidak melihat mereka bertengkar atau saling diam, tidak kutemukan mereka saling pelit dengan barang mereka, meski berantakan, asap dan abu rokok dimana - mana, tapi mereka bisa hidup beriringan dengan suka cita dan menjalani kehidupan yang ramai serta beriringan, melengkapi kebutuhan teman yang kekurangan dan berbagi dengan teman jika merasa kelebihan, dan itu cukup sulit kutemukan dikontrakanku, tidak semua penghuni rumahku bisa kuakrabi, terkadang saling sinis, saling ejek dan membicarakan, sampai saling tidak bertegur sapa hanya karena rebutan remote!!! Padahal ngakunya anak baik – baik dan ga brandal. Aku cukup malu dan mendapatkan pelajaran yang indah malam ini.

Tidur kunikmati tanpa cerita yang berarti, semuanya terasa biasa saja, ku letakkan tas dan laptopku diatas kasur hamid kawanku, tepat di ujung kepalaku, dan aku tertidur dengan nyaman, walau sempat kudengar mereka beradu komentar saat menonton laga eropa atau apa itu aku tidak tahu jelas, yang pasti mereka mengucapkan kata – kata spanyol beberapa kali, timnas favoritku dipiala dunia 2010, kubiarkan saja sampai suara azan membuatku terbangun dan tertidur pulas lagi sampai matahari naik sepenggalan.
Allah Tuhanku, terhatur beribu ampun dihadapanmu, hambaMu yang lemah ini, karena kelalaiannya meninggalkan ibadah wajib sholat subuh, sungguh hamba merasa tidak enak hati padaMu ya Allah, hamba meninggalkan sholat hanya karena hamba tidak tahu kiblat dan tidak enak membangunkan teman, maafkan hamba atas kesalahan ini, hamba tahu dosa telah Engkau catat tapi aku mohon ampun, dan bukakan selalu pintu hidayah padaku. Hamba Khilaf.


“Makan apa dit? Aku bingung nih mau nyiapin apa buatmu, dirumah juga nggak ada apa apa, gimana kalau minum sereal saja,??” Suara syahdan memecah pagi saat kami sedang nonton televisi, “udah nggak apa, aku juga mau pulang”, kataku menolak, karena aku berniat pulang jam delapan, nggak enak juga kelamaan ditempat kawan, kasian orang rumah pada nyari, mungkiiiin,,
“Eh ngga baik pulang tanpa ngisi perut, ntar kelaparan dirumah, kita juga yang di tuduh ga ngasi makan kamu, hehe, tunggu ya jangan pulang dulu, aku kewarung bentar beli sarapan”. Santai saja syahdan berlenggang keluar tanpa memberiku kesempatan berkomentar, padahal aku berniat menitipkan uang padanya, tapi biarlah, nanti saja kalau mau pulang, ketika pulang, memang kawanku yang satu ini selalu memberikan perhatian yang kadang dijadikan bahan guyonan oleh kawanku, mungkin aku dianggap adik olehnya yang lebih tua dariku, dari warungpun dia menawarkan untuk membuatkanku minuman sereal itu, Dan menolak uang yang kuberikan. Subhanallah, kawanku pengertian sekali, kubiarkan saja dia yang membuat minuman itu, setelah kurasa, malangnya aku harus bilang kedia kalau minumannya tawar dan dia mempersilakanku menambahkan gula semauku, sampailah aku pada tetesan terakhir kembali kupetik pelajaran:
bahwa menghormati tamu adalah sebagai kemuliaan, dan begitulah tuntunan Rasullullah, mereka yang kupikir malas berurusan dengan ilmu agama yang terlalu detail, nyatanya telah mempraktekkan sendiri apa yang sudah di ajarkan oleh sang pemimpin kaum yang hebat, yang membawa nilai-nilai cinta dari Tuhannya untuk mencerahkan kegelapan. Aku terlalu terbiasa mempersilakan kawan yang bertamu untuk mengatakan “anggap saja rumah sendiri, “ tapi ternyata tidak semua tamu suka diberi hak seperti itu, kawan muliakanlah tamu maka pandangan positif akan lahir dengan sendirinya.
Kupikir sekarang sudah waktunya pulang, jam sembilan lewat sepuluh pagi, matahari pagi begitu cerah dan panas kurasakan, malang, aku tidak membawa sekedar baju panjang. cuaca pontianak memang begitu menyengat kalau sedang cerah, rasanya ingin terbakar kulit ini. Setelah pamitan dengan hamid dan syahdan aku diantar sampai depan pintu dan melenggang dengan kuda besiku yang agak manja, yang tiap bangun pagi harus dipanaskan minimal satu menit, kubawa cerita hari ini dengan sebuah kesan :
Kebahagiaan dan dan kesedihan adalah dekat batasnya, dan itu berada pada pikiran kita masing masing, apa yang menurut kita buruk terkadang dianggap baik oleh orang lain, begitupun sebaliknya, dan sebaik-baik manusia adalah yang mengajak orang lain pada kebaikan dan menumbuhkan cinta kasih pada sesamanya.
Rumah “damai” itu seolah menjadi saksi bisu yang akan berbicara di hari akhir kelak, dia mengajarkan aku tidak selamanya berkumpul dengan orang yang kita anggap “baik” akan mendatangkan kita pada kesenangan, tidak selamanya bersama orang-orang pendiam akan membuat kita datang pada kebahagiaan, bukan, tapi rumah itu sudah menjelaskan bahwa kedamaian dan kebahagiaan adalah ketika penghuninya bisa tersenyum dan menjalin kerjasama yang apik saat semua anggotanya bersedih sekalipun. Aku ingin belajar menciptakan iklim seperti itu dirumah, amin Allahumma amin.
Aan khosihan 26062011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar