Selasa, 13 Maret 2012

RUMAH “DAMAI”DI SUDUT KOTA


RUMAH “DAMAI”DI SUDUT KOTA
Malam ini terasa berbeda dan sangat kontras dengan yang selama delapan bulan ini kujalani, ruangan penuh asap rokok, ketidakberaturan, dan sampah dimana – mana, tidak seperti kontrakanku yang bersih dan “nyaman”, yah fasilitas oke.  Kawan, kali ini ku bercerita tentang kost teman-temanku yang damai.
Malam kian larut tapi sudut-sudut kota khatulistiwa makin sibuk, muda – mudi berjibun melintasi jalanan kota, kusadari malam ini adalah malam minggu, saat mereka mereka yang merindukan “kesenangan” keluar rumah dan aku menjadi salah satunya, jam sepuluh ini sudah waktunya aku pulang dari liqo (kajian intensif memperdalam ajaran agama) tapi jalur yang kuambil kali ini berbeda, jika biasanya aku harus memutar bundaran digulis dan berbelok kekanan tapi kali ini kuda besiku aku arahkan ke kiri, berbelok kedaerah kota baru, setelah melakukan “perundingan” melalui pesan singkat untuk menginap di tempat kost kawanku SMA yang kini berkuliah di sekolah tinggi perguruan didaerah itu, aku lalu memacu gas motorku untuk segera kekostnya, tak cukup lama memang, hanya cukup lima belas menit saja, tapi karena lapar aku memutuskan untuk berhenti ditepi jalan kemudian memesan makanan, sate, makanan tanah jawa, makanan leluhurku pula, karena aku berasal dari sana, konon aku memiliki empat darah yang mengalir di badanku, ada melayu brunei-jawa dari ibuku, dan melayu sambas-sunda dari ayahku, itu sering juga membuatku kebingungan untuk menentukan suku, tapi sudahlah aku cinta indonesia.


Kulihat jam menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh malam saat aku harus menyantap sate yang aku bungkuskan, berbekal pinjaman piring teman kost aku mulai melahap makanan favoritku ini dengan nikmat, rasanya begitu empuk, alhamdulillah, Allah masih mengizinkan lidahku untuk menikmati sate ini, tahukah kau kawan, bahwa diluar sana banyak yang kaya raya tapi tidak bisa menikmati makanan rakyat ini hanya karena takut kolesterolnya meningkat, atau saudara kita yang kurang beruntung, hidup dengan sehat tapi tak menemukan sedikitpun kesempatan untuk memakannya karena terjerat kemiskinan.
Allah tuhanku yang pemurah, jadikan aku hambamu yang senantiasa bersyukur, yang tiada berkeluh kesah ketika yang kumakan seadanya dan tidak pula bertinggi hati ketika menikmati sajian mahal nan lezat, segala yang ku nikmati kali ini adalah berkah dan rezeki yang Engkau titipkan padaku, maka dari itu ingatkan aku selalu agar senantiasa bersyukur padaMu.
Sambil mengunyah, tak lupa mataku menjeling handphone dan kemudian memusatkan pandangan pada televisi, mansur teman SMAku juga, memang senang sekali dengan tayangan di televisi terutama dengan film yang bertemakan laga, dan memang kupikir juga ada channel yang konsisten dengan tayangan yang seperti ini, yah, aku cukup menikmati apalagi terkadang mansur yang dulu beda kelas denganku membawakan beberapa guyonan ringan seperti memuji aku saat membaca bahan ujian di laptop dengan kalimat “rajinnya, masih kuat aja mata jam segini baca yg begituan, hahaha”. Kedamaian hatiku kurasakan makin enak saja setelah cukup mencharge iman dengan liqo, kini aku merasakan kedamaian dari sisi yang berbeda, keakraban dari sebuah persahabatan, meski mereka bukanlah orang yang sifatnya seperti apa yang kutemui dari kebanyakan teman liqo yang kukenal. mereka terbiasa merokok, bergaya kacau, berbicara selepasnya, dan yahh, bisa kukatakan cukup brandal, tapi pandanganku pada mereka seperti seorang sosiolog yang memperhatikan fenomena masyarakat secara struktural fungsional, memandang bahwa segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini memiliki peran masing - masing, jadi aku memandang mereka ya seperti apa adanya mereka, sekelompok manusia seumuranku, yang sama - sama berjuang di kota khatulistiwa dengan gelar mahasiswa yang disandangnya, yang ketika “pulang kampung” harus membawa gelar yang wajib dibawanya pulang, SARJANA, meskipun sebagian ujung drama mahasiswa itu terkadang pulang kampung dengan tanpa gelar, tapi kewajiban kami harus begitu, SARJANA, demi membalas peluh orang tua yang membanting tulang mencarikan uang untuk kebutuhan perkuliahan dan mewujudkan doa terikhlas mereka untuk melihat anaknya memakai toga, dan yang utama demi mendapatkan keridhoan Tuhan yang menciptakan ilmu dan pengetahuan yang tiada batasnya Allah subhanahu wata’ala.
Syahdan yang mengajakku menginap disini, masih saja berburu kuda catur diteras lantai dua kost tempatku dan tempatnya tidur sekarang, yah, sepertinya ia lupa bahwa dia yang mengajakku tidur disini, kalau hobi, memang susah ditinggalkan, tapi kawan harusnya lebih susah ditinggalkan itu Kurang berlaku padanya, buktinya aku dibiarkan begitu saja berteman dengan televisi, tapi tidak masalah, ada Allah dan mansur yang bicara sekenannya bersamaku, kubiarkan mereka menikmati tengah malam yang cukup bersahabat ini, baru aku tersadar sekarang sudah jam sebelas limapuluh malam.
Rasanya malam kian hening saja, tapi petikan gitar di kamar sebelah ruang televisi makkin semangat saja, ajir temanku menikmati sekali lagu - lagu yang mereka nyanyikan seakan mereka sedang mengadakan take vokal atau gladi resik untuk konser, tapi akupun menikmatinya juga, tanpa kusadari terkadang aku mengikuti lirik – lirik lagu yang mereka nyanyikan kalau aku hafal, suaraku cukup merdu juga loh, satu lagi nikmat Allah yang kurasakan bahwa menikmati hidup adalah bagian dari rasa syukur kepada sang pencipta, dan bersyukur akan menambah kenikmatan, aku menyadari itu dan kuperhatikan kawanku, betapa mereka menikmati kehidupan yang telah diberikan Allah pada mereka, hanya saja mereka menikmati hidup dengan sedikit egois kepada penciptanya, syukur-syukur maghrib tak terlewatkan, tapi kehidupan mereka berjalan aman-aman saja dan tidak ada halangan yang terlalu berarti, subhanallah, Allah maha pemurah lagi maha penyayang, semoga ada hidayah buat mereka agar menjadi seperti ustadz jefri, hehhe,,
Hanya bertemankan iringan musik dari kamar sebelah dan film laga yang kotonton bersama mansur kawanku, rasanya dua jam berlalu begitu lama, mataku mulai mengendap dan mulutku mangap-mangap nggak jelas, ngaaantuk, kuinisiatifkan kaki untuk melangkah keteras menjumpai syahdan sahabatku yang mengajak menginap, aku berniat pamit masuk kamar duluan, eh ternyata aku disuruh tidur dikamar hamid, kawanku satu SMA juga, dan aku juga tidak menolak karena ngantuk, aku sempat menikmati iringan musik dari lagu “aku ingin pulang” Ebiet G Ade yang menjadi pengiring permainan catur mereka, aku ngga nyangka sekali kalau yang mereka dengar lagu melow juga, pelajaran kesekian kudapatkan “tidak selamanya anak punk yang gayanya ga tentu menurutku itu harus mendengar musik keras, mereka juga perlu musik slow” pemandangan ini bagaikan pelengkap kedamaian rumah kost di tepian kota, betul saja meski mereka tinggal dalam satu rumah yang besar dan ramai, tapi aku tidak melihat mereka bertengkar atau saling diam, tidak kutemukan mereka saling pelit dengan barang mereka, meski berantakan, asap dan abu rokok dimana - mana, tapi mereka bisa hidup beriringan dengan suka cita dan menjalani kehidupan yang ramai serta beriringan, melengkapi kebutuhan teman yang kekurangan dan berbagi dengan teman jika merasa kelebihan, dan itu cukup sulit kutemukan dikontrakanku, tidak semua penghuni rumahku bisa kuakrabi, terkadang saling sinis, saling ejek dan membicarakan, sampai saling tidak bertegur sapa hanya karena rebutan remote!!! Padahal ngakunya anak baik – baik dan ga brandal. Aku cukup malu dan mendapatkan pelajaran yang indah malam ini.

Tidur kunikmati tanpa cerita yang berarti, semuanya terasa biasa saja, ku letakkan tas dan laptopku diatas kasur hamid kawanku, tepat di ujung kepalaku, dan aku tertidur dengan nyaman, walau sempat kudengar mereka beradu komentar saat menonton laga eropa atau apa itu aku tidak tahu jelas, yang pasti mereka mengucapkan kata – kata spanyol beberapa kali, timnas favoritku dipiala dunia 2010, kubiarkan saja sampai suara azan membuatku terbangun dan tertidur pulas lagi sampai matahari naik sepenggalan.
Allah Tuhanku, terhatur beribu ampun dihadapanmu, hambaMu yang lemah ini, karena kelalaiannya meninggalkan ibadah wajib sholat subuh, sungguh hamba merasa tidak enak hati padaMu ya Allah, hamba meninggalkan sholat hanya karena hamba tidak tahu kiblat dan tidak enak membangunkan teman, maafkan hamba atas kesalahan ini, hamba tahu dosa telah Engkau catat tapi aku mohon ampun, dan bukakan selalu pintu hidayah padaku. Hamba Khilaf.


“Makan apa dit? Aku bingung nih mau nyiapin apa buatmu, dirumah juga nggak ada apa apa, gimana kalau minum sereal saja,??” Suara syahdan memecah pagi saat kami sedang nonton televisi, “udah nggak apa, aku juga mau pulang”, kataku menolak, karena aku berniat pulang jam delapan, nggak enak juga kelamaan ditempat kawan, kasian orang rumah pada nyari, mungkiiiin,,
“Eh ngga baik pulang tanpa ngisi perut, ntar kelaparan dirumah, kita juga yang di tuduh ga ngasi makan kamu, hehe, tunggu ya jangan pulang dulu, aku kewarung bentar beli sarapan”. Santai saja syahdan berlenggang keluar tanpa memberiku kesempatan berkomentar, padahal aku berniat menitipkan uang padanya, tapi biarlah, nanti saja kalau mau pulang, ketika pulang, memang kawanku yang satu ini selalu memberikan perhatian yang kadang dijadikan bahan guyonan oleh kawanku, mungkin aku dianggap adik olehnya yang lebih tua dariku, dari warungpun dia menawarkan untuk membuatkanku minuman sereal itu, Dan menolak uang yang kuberikan. Subhanallah, kawanku pengertian sekali, kubiarkan saja dia yang membuat minuman itu, setelah kurasa, malangnya aku harus bilang kedia kalau minumannya tawar dan dia mempersilakanku menambahkan gula semauku, sampailah aku pada tetesan terakhir kembali kupetik pelajaran:
bahwa menghormati tamu adalah sebagai kemuliaan, dan begitulah tuntunan Rasullullah, mereka yang kupikir malas berurusan dengan ilmu agama yang terlalu detail, nyatanya telah mempraktekkan sendiri apa yang sudah di ajarkan oleh sang pemimpin kaum yang hebat, yang membawa nilai-nilai cinta dari Tuhannya untuk mencerahkan kegelapan. Aku terlalu terbiasa mempersilakan kawan yang bertamu untuk mengatakan “anggap saja rumah sendiri, “ tapi ternyata tidak semua tamu suka diberi hak seperti itu, kawan muliakanlah tamu maka pandangan positif akan lahir dengan sendirinya.
Kupikir sekarang sudah waktunya pulang, jam sembilan lewat sepuluh pagi, matahari pagi begitu cerah dan panas kurasakan, malang, aku tidak membawa sekedar baju panjang. cuaca pontianak memang begitu menyengat kalau sedang cerah, rasanya ingin terbakar kulit ini. Setelah pamitan dengan hamid dan syahdan aku diantar sampai depan pintu dan melenggang dengan kuda besiku yang agak manja, yang tiap bangun pagi harus dipanaskan minimal satu menit, kubawa cerita hari ini dengan sebuah kesan :
Kebahagiaan dan dan kesedihan adalah dekat batasnya, dan itu berada pada pikiran kita masing masing, apa yang menurut kita buruk terkadang dianggap baik oleh orang lain, begitupun sebaliknya, dan sebaik-baik manusia adalah yang mengajak orang lain pada kebaikan dan menumbuhkan cinta kasih pada sesamanya.
Rumah “damai” itu seolah menjadi saksi bisu yang akan berbicara di hari akhir kelak, dia mengajarkan aku tidak selamanya berkumpul dengan orang yang kita anggap “baik” akan mendatangkan kita pada kesenangan, tidak selamanya bersama orang-orang pendiam akan membuat kita datang pada kebahagiaan, bukan, tapi rumah itu sudah menjelaskan bahwa kedamaian dan kebahagiaan adalah ketika penghuninya bisa tersenyum dan menjalin kerjasama yang apik saat semua anggotanya bersedih sekalipun. Aku ingin belajar menciptakan iklim seperti itu dirumah, amin Allahumma amin.
Aan khosihan 26062011

KALAU BERDUA, YANG KETIGANYA ITU “SETAN”!


KALAU BERDUA, YANG KETIGANYA ITU “SETAN”!
“Tidakkah membicarakan seseorang yang tidak mendatangkan manfaat itu adalah hal yang tidak disarankan?, jika yang dibicarakan itu benar maka akan menjadi ghibah, dan katika itu hanya sebuah kebohongan maka akan menjadi fitnah, dan tahu sendiri kan konsekuensinya, ghibah itu layaknya memakan bangkai saudaranya sendiri, maka berhentilah kau membicarakan pertemuan sekilas yang tidak direncanakan abangmu dengan kami semalam di mall, rei, sungguh abangmu tidak tahu apa – apa tentang kejadian yang sebenarnya dan jangan kau bumbui dengan gelora cinta yang sedang  mewarnai hidupmu sekarang”, seketika itu pula reihan tampak tersentak mendengar kata-kataku, seorang lulusan pesantern ketika tsanawiyah dan mengambil SMA umum setelah kelulusannya itu, menunjukkan muka yang kurang bersahabat mendengar kalimatku, mungkin dia terngiang akan kata-kata ustadznya waktu dipesantren dulu.
***
Sore ini kupacu roda duaku menuju sebuah pusat perbelanjaan didaerah gajah mada, niat hati mencarikan oleh – oleh untuk ibu tercinta dikampung, beliau menitipkan amanah untuk dibelikan piring yang unik dan menarik lewat pesan singkat yang dikirim rani adikku :
“long, ibu minta beliin piring yang unik tuh, katanya mungkin bisa nambah selera makan”
            Aku teringat beberapa waktu yang lalu pernah berseloroh menceritakan perjalananku kesebuah mall, yang menemukan aneka piring unik dan menarik dari bahan melamin, ibuku menunjukkan reaksi yang biasa saja, seperti biasa ekspresinya selalu datar kalau aku menceritakan hal – hal yang berbau belanjaan, tapi aku tahu dua atau tiga hari kedepan beliau pasti membicarakannya, dan itu yang terjadi, sebuah pesan singkat dari adikku menjadi buktinya, kata long itu sendiri sudah dipakai adikku sejak kecil untuk memanggil namaku, karena itu merupakan kata ganti abang/kakak yang sulung bagi suku melayu didaerahku. Kebetulan, Wina temanku satu kelas, mengajak pergi ke sebuah pasar, mungkin dia berniat membeli sesuatu disana, aku mengiyakan saja, lalu kuajak teman satu kelas juga, si era. Ditengah perjalanan aku langsung berganti niat setelah ingat akan pesan singkat yang dikirim rani barusan.
“hmm, gimana kalau kita ke supermarket aja yuk ra” ucapku ke era yang bengong kubonceng, dari tadi dia diam saja.
“boleh aja, soalnya aku Cuma niat nebeng jalan-jalan ni, bosan juga ngerjain tugas terus, tapi si wina dan randa gimana? Kan dia ngajak kita kepasar tradisional itu, berlawanan arah lagi” era tampak setuju tapi bingung mau memberi tahu wina yang dari tadi mengikut dibelakang motor kami.
“gampanglah itu, nanti berhenti bentar di persimpangan ajak dia putar arah, udah mau magrib juga mau kesana, kan jauh tuh”
Kami berhenti, kemudian tidak lama wina dan randa yang boncengan dibelakang kami, juga ikut-ikutan berhenti, aku langsung mengajaknya kesupermarket yang menjual piring – piring yang kuharapkan, tapi mereka menolak dan akhirnya kita jalan berdua – berdua, ini sungguh diluar dugaan, dan karena niatkupun setengah – setengah juga ikut wina, lalu aku dan era kemudian berbalik arah ke supermarket yang kami perkirakan punya koleksi piring yang unik – unik seperti yang kulihat di mall beberapa waktu yang lalu, yah, dengan alasan disana lebih murah kata era, alhasil, tidak satupun piring yang cocok kutemukan, disana hanya menjual piring – piring porselen dan jauh dari harapanku. Kami memutuskan untuk pergi ke mall tempat pertama aku melihat piring – piring itu, era pun setuju dan kupacu kembali motor ke daerah ahmad yani tempat mall terbesar dipontianak berada, sayang sekali merelakan uangku seribu rupiah dilahap tukang parkir.
            Setibanya di mall, kami tidak langsung pergi ke tempat piring-piring itu berada, aku memutuskan untuk mengajak era jalan – jalan sebentar keliling mall, lumayan lah melihat ramainya pengunjung dimalam minggu ini, kami hanya bergurau – gurau ria dengan bahasan yang ringan dan kadang mengomentari harga barang yang selangit di mall itu,
“adohh, coba kalau ada anak – anak yang lain ya, pasti seru nih” aku berseloroh.
memang, aku, era, wina, rangga, dan risna adalah lima sekawan yang akrab sekali di kelas, kemana – mana selalu berlima, sampai sebagian teman kelas menganggap kami adalah teman satu geng, tapi kami menolak dikatakan geng, kami hanya merasa punya kecocokan berlima dan akan merasa kurang, kalau salah satunya hilang, apalagi seperti sekarang ini, bertiga yang hilang, karena risna memilih tidak mau pergi, hanya karena alasan sepele “lagi males dan mau main gem laptop” itu saja, si ratu gem ini memang tidak bisa dikendalikan jika sudah bertemu dengan gem yang belum pernah dimainkannya. Kemudian rangga dan wina, yah, mereka menolak ikut kami dengan alasan awal, mau kepasar saja, jadinya aku dengan era yang menikmati perjalanan dengan kehilangan tiga personelnya, hehee.
Muda-mudi, anak – anak, nenek-nenek, dan banyak orang dengan status usianya masing – masing kami jumpai di sana, malam minggu ini memang selalu disesaki oleh pengunjung yang ingin menikmati malam libur, paling tidak kalau mereka enggan berbelanja, mereka bisa mnikmati makanan enak atau pergi ke pusat bermain yang ada di mall ini, tanpa sengaja pula aku bertemu bang saiful bersama pacarnya, aku tidak begitu kaget karena pasangan ini sering “jalan bareng” tiap malam minggunya, biasanya mereka pulang kurang dari jam sembilan malam, sebuah pacaran yang baik menurutku, tidak terlalu pulang malam, namun tetap saja ada yang lebih baik yang harusnya kurekomendasikan pada mereka, “pacaran aja abis nikah nanti bang”.  Tapi itulah pilihan mereka, aku tidak berhak mengatur – atur teman satu kontrakanku ini.
“eh eh, hayo jalan sama siapa nih ketahuan ya sekarang” pacarnya bang saiful memulai obrolan dan bang saiful hanya tersenyum, memang kami cukup akrab karena kak tiwi, pacarnya bang saiful ini, sering kerumah sekedar menghabiskan waktu.
“ini loh yang namanya era, temanku satu kelas yang sering numpangin aku kamar mandi kalau tempat kita kehabisan aer bang, hehe” aku membela diri.
“cie – cie” bang saiful lalu menyambung singkat, dan berlalu begitu saja dengan kak tiwi. era hanya manggut-manggut dan ketawa – ketawa kecil saat kami menuju tempat peralatan dapur dijual yang disitu ada berbagai piring yang aku cari.
“kenapa lu ra, ketawa – ketawa ngga jelas?” aku langsung bertanya melihat tingkahnya.
“engga, aku yakin mereka pasti mikir macem – macem deh ndi, lagian kenapa juga sih kita harus pergi bedua, males tau ngga ketemu orang – orang yang kenal kamu tapi ga kenal kita”
“lu pikir aku juga ngga males gitu, kalau ngga terpaksa berdua ga bakal juga kali kita jalan berdua” aku membalas ucapan era yang tidak terlalu kupikirkan.
Setibanya di tempat itu, langsung saja aku dan era memilih berbagai pilihan piring unik yang kucari, dan akhirnya ketemu juga yang pas di hati, pas dikantong, dan pas dibawa pulang, tiga buah wadah aku tenteng keluar mall bersama era, kita kemudian pulang dengan membawa aneka piring yang tadi kubeli, makanan ringan, dan belanjaan masing-masing, tanpa banyak bicara kami meninggalkan mall yang makin malam makin penuh saja oleh pengunjung. Karena kelelahan kuputuskan untuk mengantar era langsung kerumahnya lalu kemudian pulang kekontrakan, dirumah kulihat bang saiful sudah datang, tapi dia hanya sendiri, tidak kulihat ada si reihan dan dan aris temanku satu kontrakan juga, kata bang saiful mereka baru saja pergi ke warung makan untuk makan malam, karena malam ini tidak ada jadwal piket masak, sehingga kami masing – masing makan di luar, bang saiful hanya bercanda singkat :
“ngapain aja di mall ndi, pasti seru tuh sama era,”
Bang saiful seolah menggodaku untuk memberikan argumen, tapi aku hanya menjawab singkat,”ya gitu – gitu aja bang”, akupun teringat akan tugas akhir yang belum kurampungkan, kemudian memutuskan untuk menyelesaikannya, sebuah laptop, musik instrumental, Headset, dan pastinya materi tugas menjdi modalku mengerjakan tugas didalam kamar tidurku, sampai kuputuskan untuk tidur setelah pukul sebelas berlalu.


“Ndi, o ndi”, begitulah reihan memanggilku iseng saat dia sedang bermain dengan laptop dan printenya pada jam delapan pagi ini, “ya, ada apa” aku menjawab singkat.
“Nggak, aku dengar tadi malam ada yang jalan sama cewek ya, kenalin lah sama kita siapa tuh” reihan menjawab pertanyaanku, aku langsung mengerti akan arah perkataan reihan itu.
 Aku yang cukup sensitif mendengar kata cewek, pacar, pacaran, dan sejenis sebagainya ini langsung bereaksi dan menampik pembicaraannya, karena sungguh aku tidak seperti yang mereka perkirakan, aku yakin orang ketiga yang menyebarkan kabar ini adalah bang saiful dan kak tiwi, dan dianggap berlebihan oleh reihan adiknya, yang selama delapan bulan kami hidup bersama ini adalah orang yang paling menyebalkan menurutku, karena selalu membuat telingaku panas ketika mendengar suaranya, entah mengapa mendengar suaranya saja aku bisa naik darah, meski tidak pernah aku perlihatkan secara langsung, tapi apa yang baru saja di ucapkannya begitu membuat hatiku kacau, karena kejadian tadi malam akan memungkinkan terjadinya fitnah jika tidak ku luruskan, aku tidak menyangka jika apa yang tadi malam terjadi antara aku dan era, yang hanya berniat membeli piring harus disalah artikan atau diterka-terka sembarangan oleh orang lain, dan ini temanku sendiri.
“Itu era temanku, bukan seperti yang kalian pikirkan”, jawabku singkat seperti membela diri.
“loh - loh santai bung, nggak apa – apa kok, lebih dari teman sekalipun ngga masalah, sekarang kita udah boleh kali milih –milih pacar” reihan kembali nyeletuk dengan kata-kata dan suaranya yang tidak enak sekali kudengar, aku tahu dia pasti memaksudkan apa yang dilihat lalu diceritakan abangnya kedia tadi malam, adalah bahwa era itu adalah pacarku, sungguh, berat sekali aku menerima kalau dugaanku itu benar.
Sejenak aku terdiam setelah aku tidak membalas omongannya, dan kemudian merenung dalam kamarku, aku menundukkan hati dan pikiranku pada sang pemberi kebenaran :
“sungguh hati ini tidak berdaya untuk tidak tersinggung ya Allah, engkau maha melihat dan mengetahui apa yang terjadi, maka bukakanlah pintu ampunan jika peristiwa tadi malam dianggap sebagian orang menyimpang dari cerita sebenarnya, ampunilah hamba yang lalai telah membuka kesempatan terjadinya fitnah, sungguh ini pelajaran yang indah wahai Tuhanku”
Kembali ku petik hikmah dalam kejadian dihidupku, “hidup tidaklah selalu menyerupai apa yang kita kehendaki dan pikirkan, hidup adalah tentang dirimu, tentang dirimu dan Tuhanmu, serta tentang dirimu dan berbagai persepsi tentang dirimu, siapa saja akan berpeluang menjadi setan jika engkau membukakan kesempatan itu, maka tidak layak bagi seorang muslim memberikan peluang saudaranya untuk menjadi seorang pengghibah atau bahkan menjadi pemfitnah”
subhanAllah, aku merasakan kedamaian dalam hatiku setelah tadi cukup panas mendengar gurauan yang tidak semestinya terjadi, aku kemudian berniat untuk keluar kamar dan mandi, tanpa sengaja bertemu kembli dengan bang saiful dan reihan yang sedang menonton televisi, sementara aris serius sekali membaca buku, mahasiswa bahasa Indonesia itu sedang sibuk sekali menyelasaikan pembuatan kamus.
“wah, udah mandi aja jam segini, ngga numpang tempat era ndi?” ahh, reihan kembali menggodaku, dan membicarakan kejadian tadi malam dengan abangnya, padahal dia tahu bahwa kamar mandi sedang tidak krisis air, betapa temanku yang satu ini sering berspekulasi dengan kata – katanya yang memancing emosi. Beruntunglah aku masih bisa berpikir jernih, sebaiknya aku luruskan saja dengan sebuah kalimat bijak yang membuatnya langsung mengerti, seketika iapun tersentak dan menunjukkan wajah yang kurang bersahabat padaku, mungkin karena ia teringat kata-kata ustadznya di pesantren dulu, tapi ia tidak berbicara sedikitpun dan langsung memalingkan muka.


Hidup ini begitu indah jika kita mensyukurinya, dan hanya orang – orang yang sabarlah yang mengerti bagaimana cara mensyukuri kehidupan ini, meski dianya di hantam badai sekalipun. kejadian yang kualami ini mungkin jika dianalogikan sebagai bencana, layaknya hanya berupa angin kencang yang mendahului hujan, belum sekuat badai. Di luar sana, saudara kita yang seiman mungkin tengah mendapatkan badai dalam hidupnya, bukankah Allah memberikan cobaan sesuai kadar iman hambaNya?.
Fitnah akan benar – benar menjadi setan ketika kita membiarkannya, maka segera luruskan fitnah itu, jika benar kita jalan berdua, terlebih teman kita adalah lawan jenis, maka setan – setan bisa saja dari orang terdekat kita sekalipun, tutuplah peluang itu, mulailah menjadi pribadi yang tidak membukakan saudaranya menjadi setan hanya karena kita jalan bersama dengan teman, terlebih lawan jenis, akan menjadi kesalahan kita jika masih membiarkannya, semoga Allah mendamaikan jiwa – jiwa yang masih gusar.

Aan khosihan, 02072011

MENGHARGAI PERBEDAAN


            Manusia selalu merasa dirinya benar ketika ia tak mau disalahkan, manusia seakan melupakan nilai hidup yang ada pada dirinya sendiri. Satu sisi manusia selalu menginginkan kesempurnaan akan satu hal tapi dia mengabaikan untuk menjadi orang yang bisa bekerja sama, dia mengabaikan dirinya untuk mampu menghargakan sebuah nilai lain dalam kehidupan, perbedaan.
            Manusia, tidak diciptakan oleh maha pencipta sebagai makhluk yang berdiri sendiri. Tanpa manusia lainpun sejatinya manusia harus mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunianya, dia punya tumbuhan, hewan, dan makhluk lain dalam hidupnya, maka dari itu Tuhan menciptakan kehidupan ini serba sistemik dan berkesinambungan. Tapi kenyataannya tidak begitu, manusia hidup dengan manusia lainnya.  Tidak ada satu kejadianpun yang terjadi secara kebetulan. Sungguh memaknai sebuah kerjasama dan saling menghargai adalah sebuah kunci indah dalam damai, manusia akan merasakan nafasnya begitu ringan dan langkahnya begitu menyenangkan tatkala ia memegang nilai ini, saling menghargai.
            Pernah terpikir oleh kita semua mengapa kita diciptakan dengan berbagai perbedaan, karena sungguh perbedaan itu sangatlah indah, perbedaan itu mampu membawa diri kita menjadi manusia yang lebih berwarna, dan bukankah banyak warna itu menunjukkan sebuah keindahan, bagaimana pelangi disusun oleh tujuh warna yang sangat selaras membentuk lengkungan yang indah tak terperi, bayangkan jika pelangi itu hanya memiliki satu warna saja, merah misalnya.
            Mungkin yang membaca ini sedikit bingung mengenai apa yang sedang dibaca, di awal kita bicara tentang kebenaran kemudian masuk ke saling menghargai  dan tentang perbedaan, tapi inilah yang akan saya angkat dalam pembicaraan saya kali ini, adalah tentang menghargai perbedaan, menghargai adalah kunci dari sebuah perdamaian, menghargai adalah satu – satunya jalan ketika banyak jalan tertutup untuk mendapatkan ketenangan.
            Betapa indahnya hidup dalam sebuah perdamaian dimana semua warna yang ada saling memperindah warna lainnya dan bukan mengacaukannya, semua orang baik itu individu maupun kelompok pasti memiliki warna dan karakter masing – masing dalam langkah hidupnya.  Hanya saja terkadang orang – orang senang sekali memaksakan kepribadiannya untuk diperhatikan oleh orang lain, padahal jika semuanya dilakukan secara wajar dan benar akan kita dapatkan pengakuan itu secara sendirinya, kenyataan yang terjadi sekarang adalah manusia seringkali menginginkan segala sesuatunya dengan keinginannya sendiri sehingga terkesan dipaksakan, itulah yang menjadikan nilai keselarasan dan keseimbangan kehidupan menjadi terkecoh dan kacau. Padahal hidup yang berbeda bukanlah sebuah masalah, justru perbedaanlah yang membuat kita hidup. Jika saja masing – masing kita memiliki perasaan itu, alangkah indah hidup ini, ketika sesuatu yang memang tidak bisa dipaksakan kita hargai untuk keseimbangan hidup ini, maka damai bukanlah hanya sebuah mimpi.
            Menghargai sebuah perbedaan bukanlah sebuah kalimat yang sederhana, ianya mencakup banyak sekali unsur yang ada, perbedaan itu adalah sebuah kata yang sangat sensitif bagi telinga banyak orang, perbedaan sering sekali menjadi akar masalah dalam setiap konflik yang ada, itu memang sebuah keniscayaan, yang namanya perbedaan adalah segala sesuatu yang tak mungkin disamakan, namun tidak bisa disamakan disini bukan berarti tidak bisa di selaraskan dan seimbangkan. Air dengan minyak saja yang tidak pernah bisa menyatu bisa berada dalam satu wadah yang sama. Itulah konsep menghargai yang saya tawarkan, segala sesuatunya baik itu kepentingan, tanggung jawab, nilai, budaya dan apapun bekerja sesuai porsinya, sehingga tidak dimungkinkan terjadi benturan yang sangat merugikan.
            Idealnya, menghargai perbedaan akan terjadi manakala manusia berpikir bahwa dirinya adalah bagian dari sistem kehidupan yang ada, mereka akan secara sadar dengan sendirinya bahwa dia tidak bisa berkelakuan semau hatinya dan kehendaknya saja, manusia memiliki batasan tersendiri dan batasan itu sebenarnya sudah ada pada masing – masing hati manusia, hati kecil manusia sangat tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang melanggar aturan dan mana yang sesuai koridor, karena sejatinya hati adalah bagian paling vital dalam kehidupan itu sendiri, kecuali hati itu memang sejak dini sudah dicekokoi oleh nilai – nilai buruk. Namun percayalah sejahat – jahat manusia dia pasti memiliki sisi baik dalam hatinya. coba anda tanyakan dan lihat diri anda, anda akan perlahan menyadari diri anda adalah orang baik, karena hati manusia pasti menyimpan kebaikan itu. mungkin selama ini perilaku diluar batas yang ada pada diri kita dan kita lakukan secara berulang adalah gangguan nyata dari luar dan bukan dari dalam diri kita, percayalah menghargai ada pada diri anda, dan menghargai itu mudah ketika anda sekali lagi sadar bahwa kita yang ada didunia ini adalah bagian dari sistem yang ada.
            Akhirnya, semua yang ada didunia ini adalah pilihan, sebagian manusia menginginkan hidup dalam damai, sabagian lagi menginginkan kedamaian dengan caranya sendiri, dan mungkin ada bagian lain dari manusia yang menginginkan kekacauan, jika kita pandang secara bijak hal itu adalah bagian dari hukum alam, segala sesuatu yang ada dan terjadi dalam kehidupan adalah siklus dan sistem dalam kehidupan manusia dan lingkungannya. Jangan salahkan mengapa kita tidak bisa hidup dalam damai, tapi salahkan mengapa diri kita tidak bisa menghargai perbedaan dan mendamaikan diri kita sendiri. Saya hanya mencoba memberikan stimlus bagi pemikiran kita semua yang katanya sudah modern untuk memikirkan kembali makna dari sistem kehidupan, menghargai, perbedaan, dan damai. Terakhir saya ulang bahwa perbedaan tidak akan pernah menjadi satu, tapi perbedaan bisa berjalan selaras dan seimbang, itu kuncinya.

KULIHAT KAMI DALAM KALIAN


KULIHAT KAMI DALAM KALIAN
            Secangkir teh panas menemani pagi hariku yang dingin ini, rasanya pontianak sedang berada diluar kebiasaannya yang sering membagikan suhu yang panas bagi orang rantau sepertiku. Maklum saja kotaku yang berjarak empat jam dari kota ini cukup dingin dibanding kota yang aku tumpangi untuk menimba ilmu sekarang. Ya, pontianak memang sangat panas.
            Dering ponselku terdengar diruang kamar tidur dan sepertinya itu adalah nada untuk sms. setelah kubaca ternyata aku diminta untuk menjadi  salah satu dari panitia sebuah pelatihan menulis dikota ini. aku harus menerimanya dikarenakan pelatihan ini diadakan oleh sebuah lembaga kepenulisan tempat aku bernaung. Tidak terlalu sulit memang menerima tawaran ini, namun terkadang pikiran dan konsentrasiku selalu terpecah saat harus membagi waktu antara kuliah dan agenda kepanitian yang bukan pada pelatihan ini saja aku harus bertanggung jawab. Setidaknya ada tiga agenda yang cukup besar harus aku jalani sebagai bagian dari panitianya. hanya saja aku selalu berusaha menikmati setiap waktu yang aku jalani dengan tugas – tugas yang diamanahkan padaku sehingga semuanya berjalan sebagai mana mestinya.
***
            Yang kutahu saat ini aku bertindak sebagai MOT dalam pelatihan menulis ini, atau sebutlah sebagai penggerak peserta, aku bertugas mengatur jalannya acara pelatihan ini hingga mencharge kondisi peserta agar kembali bersemangat. dua orang peserta pelatihan ini begitu menyita perhatianku, namanya aditya dan rangga. Mereka adalah dua sahabat yang berada di program studi yang sama, dan satu fakultas denganku. Mereka adalah adik tingkatku, hanya saja berbeda program studi, aditya dan rangga begitu akrab dan aku melihat mereka seakan – akan melihat diriku sendiri dan sahabatku dahulu waktu jambore nasional, namanya amril.
            Sedikit kuceritakan padamu sahabat, aku pernah bergabung dengan kontingen kabupatenku dalam kegiatan jambore nasional. sebuah ajang pertemuan tingkat nasional yang cukup prestisius dalam dunia kepramukaan, khususnya bagi kalangan penggalang. disana aku menemukan seorang teman yang sangat baik bernama amril, dialah sahabatku dari hari pertama kegiatan sampai hari kesembilan, dan disinilah cerita persahabatan itu akan kubagikan pada kalian.
            Pagi itu, lembah manglayang di kota sumedang, jawa barat masih sangat dingin, kutaksir ia mencapai 25 derajat celsius saja, karena aku membandingkannya dengan suhu AC bis yang ternyata masih kalah dingin dengan suhu lembah ini. Aku bahkan tidak berani melepas jaketku saat pertama kali datang dilembah yang sedang menampung 36.000 peserta dari seluruh indonesia ini dan itu belum termasuk para kontingen undangan dari luar negeri yaitu negara – negara sahabat. Manglayang memang jauh berbeda dengan daerahku, apalagi pontianak. Ini menjadi sebuah pengalaman baru buatku ketika pada waktu subuh, aku harus merelakan tubuhku dibalut dengan enam lapis pakaian agar tidak terus  - terusan menggigil.
            Amril, begitu aku mengetahui namanya yang hanya satu kata itu, dia berasal dari kabupaten luwu timur propinsi sulawesi selatan. Hari itu kami sudah langsung akrab, aku merasa jika dia adalah teman yang sudah lama aku kenal, sehingga kami dengan akrabnya selalu pergi kemana – mana bersama. Kami mendapatkan kegiatan yang sama sampai sepuluh hari kedepan dan itu membuatku senang karena aku punya teman yang sudah kukenal. Maklum saja kegiatan ini hanya diwakili oleh satu peserta per satu kabupaten saja, sementara peserta lain memiliki kegiatan masing – masing yang sudah dijadwal oleh panitia. Amril adalah pribadi yang hangat, suka berbagi cerita tentang daerahnya dan aku juga begitu, kami selalu bertukar pengetahuan tentang budaya dan kebiasaan – kebiasaan daerah, kami begitu kompak sampai duduk saja tidak pernah berjauhan. Itu yang aku lihat pada aditya dan rangga, mereka begitu kompak sampai untuk wudhu saja mereka saling tunggu. Sebuah persahabatan yang luar biasa, aku menemukan persahabatnku dengan amril seperti mereka saat ini, mereka saling dukung, saling bantu dan saling berbagi.  tanpa sengaja pada sesi menulis puisi dadakan untuk sahabat, aku menyuruh aditya untuk maju kedepan membacakan karyanya, dia mengkhusushkan puisinya itu untuk sahabatnya, rangga. isinya begitu sedehana, namun begitu dalam. Aku, merasakan amrillah yang sedang membacakan puisi itu untukku.
***
Kami selalu bersama
Apapun kami lalui berdua
Meskipun itu badai, hujan, dan angin
            Kuakui aku harus meneteskan airmata saat mengenang kata – kata itu, amril sahabatku tidak bisa bersamaku mengikuti kegiatan pada hari kesepuluh, hari terakhir kegiatan kami. Padahal hari itu adalah jadwal kami untuk mengunjungi kabupaten bandung, kampus STT telkom, dan padepokan seni wayang golek seniman terkenal yaitu asep sunandar sunarya. Pagi dihari kesepuluh itu, aku menjemputnya di tenda kontingen mereka, kulihat ia masih tertidur di sleeping bag milik pembinanya, ketika kutanya pembinanya ternyata amril sedang sakit. Dia muntah – muntah dari tadi malam, mungkin karena masuk angin. Keberangkatan kami memang masih satu jam lagi, aku berjanji untuk kembali ketendanya saat akan berangkat ke halte bis yang akan membawa kami. Dan tahukah kalian sahabatku, aku senang sekali ia bisa ikut bersamaku dan rombongan. Memang kondisinya sedikit lemas, tapi itu tidak mengurangi sedikitpun kehangatan yang biasa ia bagi padaku, dia memang sahabat yang baik.
            Matahari kulihat mulai beranjak naik, waktu itu sudah hampir pukul delapan pagi atau tepatnya dua puluh menit sebelum keberangkatan, aku semakin tidak sabar untuk pergi, kulihat amril hanya menunduk dan semakin lemas. Amril sahabat baikku semakin memburuk kondisinya, ketika kutanya dia hanya bilang pusing dan tidak lama setelah itu dia muntah – muntah. Aku panik dengan kondisinya, sampai lima menit sebelum keberangkatan dia memutuskan untuk tidak jadi ikut dan memutuskan pulang ke tendanya.  aku menawarkan diri untuk mengantar, namun ia menolak dengan alasan kalau aku mengantanya maka aku pasti tidak bisa ikut rombongan juga. Memang, jarak antara halte dengan tenda kontingen kabupaten luwu timur sekitar lima belas menit dan aku pasti tidak bisa mengejar waktu. Dengan berat hati aku merelakan ia berjalan, mungkin sedikit kejam aku ini, tapi aku juga harus punya tanggung jawab dengan agendaku. Amril sahabatku berjalan sempoyongan menuju tendanya, dan aku tidak tahu apakah ia baik – baik saja dijalan. Kami pulang dari kegiatan sampai kembali ketenda nyaris memasuki waktu isya, sementara besok adalah hari penutupan, kulihat sudah banyak kontingen yang melepaskan tenda sebelum hari penutupan itu. Seperti  biasa suasana tenda kami begitu ramai dan akrab, semua peserta saling membagi cerita tentang agendanya masing – masing. Termasuk aku, aku dengan bangganya menceritakan kunjunganku ke sekolah tinggi teknologi telkom yang begitu megah itu, dan menyaksikan pementasan wayang yang dimainkan langsung oleh cucu dari asep sunandar sunarya. Malam itu begitu haru, karena besok adalah penutupan, meskipun kami harus menambah jatah menginap satu malam lagi karena akan melakukan perjalanan wisata ke jakarta.
            Aku teringat akan sahabatku amril, aku berniat untuk menjenguknya pagi ini sambil memberikan salam terakhir atas pertemuan ini, karena mungkin dia dan kontingennya akan pulang sore hari, sementara kami esoknya. Aku bergegas menuju tenda kabupaten luwu timur, dan pemandangan yang aku lihat sungguh mengagetkan. Kapling tenda mereka sudah lapang, sangat – sangat lapang, yang tersisa tinggallah tali - tali jemuran dan plastik – plastik kresek yang sudah menjadi sampah. Amril sahabatku tak aku temukan, aku tak tahu kenapa ia tak pamitan dulu denganku, apakah ia tak menganggapku sahabatnya atau sakitnya makin parah, sehingga ia tak bisa mengunjungi tendaku untuk terakhir kalinya?. Amril aku menyesal tidak mengantarmu pulang saat kau sakit. Aku pulang dengan penyesalan yang amat sangat dan akupun heran mengapa harus seperti ini, mungkin inilah yang disebut persahabatan masa muda atau lebih pada rasa bersalahku meninggalkan sahabat baik saat dia sedang sakit.  waktu itu kami masih kelas tiga SMP. Tidak ada lagi amril yang hangat dan akrab, tidak ada lagi cerita tentang kebudayaan kami, tidak ada lagi duduk – duduk berdampingan, dantidak ada lagi pelajaran bahasa daerah.
            Aku kembali melihat aditya dan rangga, mereka persis seperti kami, aku hanya berharap puisi yang aditya tulis akan menjadi kenyataan untuk selamanya.  aku berharap mereka seperti kami yang sangat tulus menjadi teman dan saling melengkapi, namun aku tidak berharap mereka memiliki ujung cerita seperti kami yang harus berpisah dalam keadaan genting karena ada kepentingan lain. padahal salah satu diantara kami sangat membutuhkan salah satu yang lainnya. Kututup kisah ini dengan kembali pada kisahku dan amril. Siang itu, setelah aku kembali dari tenda kontingen luwu timur yang hanya meyisakan taki – tali jemuran yang sudah berantakan, salah satu temanku satu kontingen yang bernama ruslan memanggilku dan menyampaikan sebuah pesan :
            “radan,,,”
            “iya, ada apa rus ?”
            “Kemarin sore ada yang mencarimu, dia memakai ransel besar dan sepertinya mau             pulang, kami Cuma bilang kamu belum datang dari kegiatan, dan dia hanya        menyampaikan salam”
            “oh ya? Siapa namanya?”
            “Amril”.

SRS, 28022012

BERLARILAH KAWAN


Untukmu yang tengah berapi-api
melanglang mencari tantangan
mendaki gundukan cobaan
mengais-ngais mozaik kehidupan

berlarilah, kejar mimpimu itu dengan kaki bengkakmu
lompatilah samudera yang kau pikir dangkal itu
ambisimu, adalah doaku padamu
semoga kau tak akan tersesat dan menemukan kedamaian hati dengan ransel bututmu
dengan senyuman penuh optimis dan tak tahu lelah menampakkan muka itu

aku harap
jika akan kau temukan kecemerlangan kelak
jika kau sudah harus bernafas lega
kau tak seperti manusia yang seolah telah berhasil menggandeng pundak Tuhan
yang dengan egoisnya meracaukan kalimat - kalimat menyakitkan
padahal kau taklah sampai disitu
takkan pernah bisa tiba disitu

berlarilah
kau jelajahi gurun-gurun dan bongkahan salju disana
ceritakan padaku apa yang harus kau ceritakan
termasuk apakah kau telah menemukan Tuhan kita

untukmu yang tengah bermain-main dengan takdir
temukanlah apa yang kau cari
bongkar semua bongkahan dan puing yang menghalanginya
kau tahu
aku ingin punya semangatmu
tapi tak ingin punya cara berpikirmu
karna aku tak ingin sepertimu

untukmu yang sekarang berkelana
wujudkanlah mimpimu itu
ceritakanlah padaku kelak
agar aku tahu
betapa meruginya orang yang berdiam dengan mimpinya

SRS, 090312

MY 20th BIRHTDAY STORIES


MY 20th BIRHTDAY STORIES
            Hari ini aku akan bercerita banyak dengan kalian, semuanya. Namun Pada intinya sekarang aku bingung harus memulai tulisan ini atau tidak, dari mana, dan dengan kata apa. karena memang sebenarnya aku sedang penasaran, apa mungkin ada kejutan lain setelah ini. Kupikir dan kuharap tidak ada lagi. Sampai pada ujungnya setelah nge es shanghai bersama yang cukup lama di kantin mas nugi sepakat 2, aku memberanikan diri untuk menulis rentetan kebahagiaan dan kejutan yang kualami di usiaku yang memasuki kepala dua ini, tua ya!!!.
***
            Saudaraku, kuanggap kalian adalah peri – peri tak bersayap yang selama ini terjaga untuk mendoakanku. kalian adalah anugerah sistemik yang akan selalu mengawal jalannya hidupku. kalian ada disekelilingku, dan membuat aku merasa bahwa aku tidak pernah menjadi manusia nol. Meskipun terkadang aku menjadi pribadi positif satu, atau bahkan negatif satu bagi kalian. Saudaraku, tujuh maret, dua puluh tahun yang lalu lahir seorang bayi kecil yang dengan tangisannya membuat dua orang manusia tersenyum, dialah aku dan dua orang itu ayah dan ibuku. Aku yang sempat membuat ulah saat akan mendiami sembilan bulan rahim ibuku, aku yang di tiga bulan pertama membuat ibuku nyaris tidak bisa makan, aku yang menjadi titipan pertama bagi mereka, kedua orangtuaku. lahir dengan selamat dan membuat banyak anggota keluarga ayah dan ibuku tersenyum. Tapi sekarang, anak bayi yang kemarin sempat terkena penyakit kejang – kejang dan terindikasi menderita penyakit kuning itu, nyatanya tetap saja bertahan. Dan menjadi seorang mahasiswa yang sekarang dititipkan dikota khatulistiwa, pontianak.
            Tujuh maret 2012, aku menganggap bahwa hari itu adalah hari yang biasa – biasa saja. Aku hanya mengingat bahwa hari ini, secara masehi diriku ditetapkan berusia dua puluh tahun. Sebuah angka yang tidak remaja lagi menurutku. Ucapan selamat ulang tahun aku terima pertama kali via facebook, kemudian saat bangun tidur teman satu kontrakanku, evi yang mengucapkan, kemudian disusul oleh sms, inbox, wall, komentar facebook, dan ucapan secara langsung yang tidak bisa kuingat lagi siapa yang mendoakanku, baik secara langsung maupun tidak. Tujuh maret pula yang membuat aku tidak merasa begitu spesial dimata orang tuaku, mungkin ini terlalu spekulataif atau subjektif. Kuceritakan pada kalian, bahwa tradisi mengucapkan selamat ulang tahun bukanlah milik keluargaku, bukan milik ayahku, bukan juga milik ibuku. Ulang tahun atau sekedar mengucapkan selamat sepertinya adalah hal yang tabuh bagi keluargaku ini, buktinya, sampai ulang tahun kedua puluh ini, mereka tak pernah sekalipun mengucapkan kalimat “selamat ulang tahun, long!” padaku. Tapi aku tak pernah berkecil hati, kebahagian yang kalian berikan padaku sudah sangat jauh dari kata cukup, kalian para peri – peri tak bersayapku, teman – teman hidup yang mempunyai doa – doa terbaik untukku, kalian adalah orang yang tak pernah kuduga bisa berbuat senekat ini untuk makhluk lemah sepertiku. Aku bukan siapa – siapa, namun perhatian kalianlah yang membuat aku menjadi apa – apa.
            Sangat tidak berlebihan menurutku seorang trisna, evi, kak mei, cu ev, membuat aku nyaris muntah gara – gara ritual anak muda dalam memeriahkan ulang tahun temannya. Apalagi kalau bukan memcahkan telor kekepala kemudian disambut dengan siraman tepung yang akhirnya membuat adonan disekujur tubuhku. Ini adalah prosesi yang tak kalah sakralnya dibanding ijab kabul, dan yang aku takjubkan adalah ketika ibu kontrakan trisna ternyata memberi dukungan dengan menyiramkan air hujan padaku dan mereka – mereka yang mengerjaiku. Kuingat tanggal itu adalah pada delapan maret 2012, aku baru saja berkata bahwa sudah tiga tahun belakangan dikerjai dengan pecah telur dan siram tepung, aku berharap tahun ini tidak ada lagi. Aku sangat yakin, karena hingga sampai tanggal delapan ini, aku masih selamat. Dan ternyata, tak kurang dari sepuluh menit saja lelehan putuh telur yang amisnya nggak ketulungan itu menyerang kepalaku. Memang kalian adalah orang – orang yang luar biasa. Tak sampai disitu, setelah prosesi itu berakhir dan kita semua bersih, ternyata ada satu kejutan lagi dari mereka yang mengerjaiku dengan telur itu, menyiapkan roti tawar yang seolah menyerupai kue ulang tahun.  konyol memang, tapi memberi kesan yang begitu dalam bagiku. Sebenarnya ada dua pandangan yang berbeda dariku, pertama mereka memilih roti tawar karena memang waktunya mepet, atau yang kedua, karena memang mereka pelit mengeluarkan uang, hhh, just kidding friends, peace. Aku berpikir rentetan tanggal delapan itu adalah kegiatan terakhir dari rangkaian perayaan ulang tahunku yang kedua puluh. Sampai aku bisa tidur dan bernafas lega di keesokan harinya.
            Saudaraku, tidakkah aku melupakan sesuatu? Iya, ditanggal tujuh, aku mendapatkan sebuah lagu selamat ulang tahun dari adik tingkatku yang luar biasa, aku berniat membayar pulsa dengan desi. Eh, lagu selamat ulang tahun yang aku dapatkan. kaget, terharu, sedih, ingat ortu, nyampur semuanya jadi satu. Kalau kalian lihat ekspresiku kemarin, mungkin seperti orang mati kutu!. Diam tak tahu mau ngapain. Sambil melanjutkan transaksi bayar pulsa sebagian dari mereka menyalamiku. Yah, Adik – adik yang baik, terimakasih banyak. Tujuh maret juga menjadi puncak penerimaan notif terbanyak dalam sejarah ulang tahunku, tak kurang dari 200 pemberitahuan memberitakan tentang ucapan selamat ulang tahun padaku. Pada hari itu aku sadar, bahwa tak selamanya orang yang tak kita kenal itu akan cuek dengan kita, buktinya, teman facebook yang tidak kukenal, banyak sekali yang mengirim ucapan selamat. Mulai dari HBD, met ultah, met milad, selamat ultah, dan sebagai sejenisnya aku terima. Rasa syukurku tiada tara atas Allah yang memberikan kebahagiaan kepadaku.
            Baik itu tanggal delapan, sembilan, hingga sepuluh, ternyata masih ada yang mengirim ucapan selamat, termasuk bang isak qodari, mantan presiden mahasiswa FKIP, yang secara langsung memberikan ucapan selamat ditanggal delapan, dan sebagian teman lainnya yang mengucapkan ditanggal sembilan. Tanggal sepuluh kemudian kulalui dengan semangat baru, spirit yang membuatku melangkah jauh lebih optimis dibanding tahun lalu. aku semakin berusaha menghargai yang namanya pergaulan, dan menyadari bahwa punya teman itu memang tak harus selalu bersama, tapi saling mengikat dan punya sense of friendship yang sama, cie elah. Hari ini ada sosialisasi metode penelitian dan aku menjadi perwakilan program studi, singkat cerita aku pulang sore dan begitu lelahnya. Datang kerumah ternyata sudah ada tamu, dia adalah selvi dan lara, temanku satu kampung yang juga merantau dikota khatulistiwa ini, mereka  datang dengan dalih mau pinjam buku. Sepulang mereka dari pinjam buku, ternyata buku yang dipinjam ketinggalan. Aku yang sudah sangat rapi dan wangi serta siap – siap keluar rumah dan rencana nya mau pergi ke hot spot, menghilangkan suntuk dimalam minggu. mendapat kejutan lagi dari dua orang itu. Plok! Satu buah telur mendarat begitu saja dikepalaku saat sedang asik nonton televisi, alhasil, pecahan isi telur harus tumpah kemana – mana diruang tengah kontrakanku. Oh tidak, ini bencana, aku langung keluar rumah untuk mengejar mereka dan ternyata serbuan tepung langsung menyambarku, memang mereka luar biasa. Aku langsung mengambil kendali  dengan merampas tepung itu dan menyiramkannya pada mereka berdua, hingga akhirnya semuanya harus putih oleh tepung kanji yang lengket itu. Dan tahukah kau kawan, ibu kontrakan trisna lagi – lagi turun tangan untuk menyirami kami dengan air dan membuat tubuh ini makin lengket dan sangat tidak nyaman, tapi semua kunikmati. Sekali lagi ada peri tak bersayap yang ternyata begitu menaruh perhatian padaku.
            Saudaraku, tak ada kebahagian yang paling klimaks bagi seorang pendaki gunung melainkan ia tiba dipuncak dengan nafas yang masih begitu berat, begitupun bagi seorang perenang, kebahagian terbesarnya adalah ketika mereka menemui garis finish dari target renangnya. Dan tahukah kalian kawan, puncak kebahagianku kali ini adalah pada hari ini, 13 maret 2012, bukan oleh ibuku, bukan oleh ayahku, atau adik kandungku yang hanya mengirimiku ucapan selamat via facebook. Tapi oleh kalian, teman – teman satu perjuangan pendidikan sosiologi 2010, teman satu perjuangan yang dengan seleksi alam kian bertahan dan tangguh untuk meraih gelar sarjana pendidikan dan kembali pada pengabdiannya masing – masing kelak. Jika aku bicara laskar pelangi, maka kita bukanlah itu, karena mereka hanya bersepeluh, tidak juga negeri lima menara yang malah kurang dari laskar pelangi. Tapi kita adalah pendsos 2010, orang yang hari ini membawakan aku setumpuk kue ulang tahun lengkap dengan lilinnya, dan sekali lagi, itu asing bagiku. Kalian adalah orang – orang yang membuat pikiranku dan pandanganku selalu berubah – ubah tentang kalin, seperti sekarang, kalian menjelma bagai peri tak bersayap yang dengan kuas ajaiibnya bisa membuat hatiku yang sepi menjadi berbunga dan merekah. Ya, bayang kekesalan karena tidak mendapatkan ucapan dari kedua orang tuaku sampai saat ini masih menyelimuti hatiku, tapi kalian membayar semuanya. Tahukah kalian kawan, aku yakin bahwasanya ayah dan ibuku, disela doa setelah sholatnya, dan setiap usaha mencari uangnya, pasti terselip namaku dan pengharapan terbesarnya padaku. Aku yakin mereka mendoakanku tak harus saat tujuh maret saja, tapi setiap hari. Dan itu pasti terjadi bagi kita semua. Saudaraku, kalian membuatku speechless dan tak tahu harus berkata apa, selain terimakasih!. Kalian adalah anugerah yang harus kusyukuri. Kalian telah memberikan warna yang begitu cerah bagi hariku. Silakan anggap semua ini berlebihan jika kalian mau, tapi percayalah, selain terimakasih, inilah yang bisa kupersembahkan, untukmu anak – anak haus sarjana yang pasti tercapai. Dan kita pasti mendapatkannya.
***
Bahwasanya akan kau temui
Mereka yang tersembunyi
Dibalik tirai
Dan kegugupan

Mereka sangat dekat, dekat sekali
Tak harus bisa kau pegang
Tak harus bisa kau ajak bicara
Tak harus bisa kau ajak bercanda
Tapi dia telah mengikat hatimu
Saat tanpa sadar semua berkata
Dia bagian dariku

Saudaraku
Tataplah, pandanglah mata mereka
Bahwa kita adalah satu
Bahwa kita adalah perjuangan itu
Jangan tinggalkan aku
Tanpamu

            Seiring malam yang merenda gelap, dan gaung – gaungan shalawat menjelang isya memanggilku untuk berkelana menghadap Tuhan. Kuakhiri testimoni tanpa indah tanda baca ini dengan mengajakmu memainkan peran otak kita. Sejatinya keseringtemuan kita bukanlah akar yang membuat kita terikat, melainkan bibirmu yang selalu tersenyum dan matamu yang selalu berbinarlah yang menjadi pelipur lara. Mari menjadi yang terbaik bagi sesama, tak akan ada kesempurnaan yang bisa dirasakan ketika kau berdiam diri, dalam sepi. Mari mengagungkan Tuhan, karenaNYA, kita bersama.