KULIHAT
KAMI DALAM KALIAN
Secangkir teh panas menemani pagi
hariku yang dingin ini, rasanya pontianak sedang berada diluar kebiasaannya
yang sering membagikan suhu yang panas bagi orang rantau sepertiku. Maklum saja
kotaku yang berjarak empat jam dari kota ini cukup dingin dibanding kota yang
aku tumpangi untuk menimba ilmu sekarang. Ya, pontianak memang sangat panas.
Dering ponselku terdengar diruang
kamar tidur dan sepertinya itu adalah nada untuk sms. setelah kubaca ternyata
aku diminta untuk menjadi salah satu
dari panitia sebuah pelatihan menulis dikota ini. aku harus menerimanya
dikarenakan pelatihan ini diadakan oleh sebuah lembaga kepenulisan tempat aku
bernaung. Tidak terlalu sulit memang menerima tawaran ini, namun terkadang
pikiran dan konsentrasiku selalu terpecah saat harus membagi waktu antara
kuliah dan agenda kepanitian yang bukan pada pelatihan ini saja aku harus
bertanggung jawab. Setidaknya ada tiga agenda yang cukup besar harus aku jalani
sebagai bagian dari panitianya. hanya saja aku selalu berusaha menikmati setiap
waktu yang aku jalani dengan tugas – tugas yang diamanahkan padaku sehingga
semuanya berjalan sebagai mana mestinya.
***
Yang kutahu saat ini aku bertindak
sebagai MOT dalam pelatihan menulis ini, atau sebutlah sebagai penggerak
peserta, aku bertugas mengatur jalannya acara pelatihan ini hingga mencharge kondisi peserta agar kembali
bersemangat. dua orang peserta pelatihan ini begitu menyita perhatianku,
namanya aditya dan rangga. Mereka adalah dua sahabat yang berada di program
studi yang sama, dan satu fakultas denganku. Mereka adalah adik tingkatku,
hanya saja berbeda program studi, aditya dan rangga begitu akrab dan aku
melihat mereka seakan – akan melihat diriku sendiri dan sahabatku dahulu waktu
jambore nasional, namanya amril.
Sedikit kuceritakan padamu sahabat,
aku pernah bergabung dengan kontingen kabupatenku dalam kegiatan jambore
nasional. sebuah ajang pertemuan tingkat nasional yang cukup prestisius dalam
dunia kepramukaan, khususnya bagi kalangan penggalang. disana aku menemukan
seorang teman yang sangat baik bernama amril, dialah sahabatku dari hari
pertama kegiatan sampai hari kesembilan, dan disinilah cerita persahabatan itu
akan kubagikan pada kalian.
Pagi itu, lembah manglayang di kota
sumedang, jawa barat masih sangat dingin, kutaksir ia mencapai 25 derajat
celsius saja, karena aku membandingkannya dengan suhu AC bis yang ternyata
masih kalah dingin dengan suhu lembah ini. Aku bahkan tidak berani melepas
jaketku saat pertama kali datang dilembah yang sedang menampung 36.000 peserta
dari seluruh indonesia ini dan itu belum termasuk para kontingen undangan dari
luar negeri yaitu negara – negara sahabat. Manglayang memang jauh berbeda
dengan daerahku, apalagi pontianak. Ini menjadi sebuah pengalaman baru buatku
ketika pada waktu subuh, aku harus merelakan tubuhku dibalut dengan enam lapis
pakaian agar tidak terus - terusan
menggigil.
Amril, begitu aku mengetahui namanya
yang hanya satu kata itu, dia berasal dari kabupaten luwu timur propinsi
sulawesi selatan. Hari itu kami sudah langsung akrab, aku merasa jika dia
adalah teman yang sudah lama aku kenal, sehingga kami dengan akrabnya selalu
pergi kemana – mana bersama. Kami mendapatkan kegiatan yang sama sampai sepuluh
hari kedepan dan itu membuatku senang karena aku punya teman yang sudah
kukenal. Maklum saja kegiatan ini hanya diwakili oleh satu peserta per satu
kabupaten saja, sementara peserta lain memiliki kegiatan masing – masing yang
sudah dijadwal oleh panitia. Amril adalah pribadi yang hangat, suka berbagi
cerita tentang daerahnya dan aku juga begitu, kami selalu bertukar pengetahuan
tentang budaya dan kebiasaan – kebiasaan daerah, kami begitu kompak sampai
duduk saja tidak pernah berjauhan. Itu yang aku lihat pada aditya dan rangga,
mereka begitu kompak sampai untuk wudhu saja mereka saling tunggu. Sebuah
persahabatan yang luar biasa, aku menemukan persahabatnku dengan amril seperti
mereka saat ini, mereka saling dukung, saling bantu dan saling berbagi. tanpa sengaja pada sesi menulis puisi dadakan
untuk sahabat, aku menyuruh aditya untuk maju kedepan membacakan karyanya, dia
mengkhusushkan puisinya itu untuk sahabatnya, rangga. isinya begitu sedehana,
namun begitu dalam. Aku, merasakan amrillah yang sedang membacakan puisi itu
untukku.
***
Kami selalu bersama
Apapun kami lalui berdua
Meskipun itu badai, hujan, dan
angin
Kuakui aku harus meneteskan airmata
saat mengenang kata – kata itu, amril sahabatku tidak bisa bersamaku mengikuti
kegiatan pada hari kesepuluh, hari terakhir kegiatan kami. Padahal hari itu
adalah jadwal kami untuk mengunjungi kabupaten bandung, kampus STT telkom, dan
padepokan seni wayang golek seniman terkenal yaitu asep sunandar sunarya. Pagi
dihari kesepuluh itu, aku menjemputnya di tenda kontingen mereka, kulihat ia
masih tertidur di sleeping bag milik
pembinanya, ketika kutanya pembinanya ternyata amril sedang sakit. Dia muntah –
muntah dari tadi malam, mungkin karena masuk angin. Keberangkatan kami memang
masih satu jam lagi, aku berjanji untuk kembali ketendanya saat akan berangkat
ke halte bis yang akan membawa kami. Dan tahukah kalian sahabatku, aku senang
sekali ia bisa ikut bersamaku dan rombongan. Memang kondisinya sedikit lemas,
tapi itu tidak mengurangi sedikitpun kehangatan yang biasa ia bagi padaku, dia
memang sahabat yang baik.
Matahari kulihat mulai beranjak
naik, waktu itu sudah hampir pukul delapan pagi atau tepatnya dua puluh menit
sebelum keberangkatan, aku semakin tidak sabar untuk pergi, kulihat amril hanya
menunduk dan semakin lemas. Amril sahabat baikku semakin memburuk kondisinya,
ketika kutanya dia hanya bilang pusing dan tidak lama setelah itu dia muntah –
muntah. Aku panik dengan kondisinya, sampai lima menit sebelum keberangkatan
dia memutuskan untuk tidak jadi ikut dan memutuskan pulang ke tendanya. aku menawarkan diri untuk mengantar, namun ia
menolak dengan alasan kalau aku mengantanya maka aku pasti tidak bisa ikut
rombongan juga. Memang, jarak antara halte dengan tenda kontingen kabupaten
luwu timur sekitar lima belas menit dan aku pasti tidak bisa mengejar waktu.
Dengan berat hati aku merelakan ia berjalan, mungkin sedikit kejam aku ini,
tapi aku juga harus punya tanggung jawab dengan agendaku. Amril sahabatku
berjalan sempoyongan menuju tendanya, dan aku tidak tahu apakah ia baik – baik
saja dijalan. Kami pulang dari kegiatan sampai kembali ketenda nyaris memasuki
waktu isya, sementara besok adalah hari penutupan, kulihat sudah banyak
kontingen yang melepaskan tenda sebelum hari penutupan itu. Seperti biasa suasana tenda kami begitu ramai dan
akrab, semua peserta saling membagi cerita tentang agendanya masing – masing.
Termasuk aku, aku dengan bangganya menceritakan kunjunganku ke sekolah tinggi
teknologi telkom yang begitu megah itu, dan menyaksikan pementasan wayang yang
dimainkan langsung oleh cucu dari asep sunandar sunarya. Malam itu begitu haru,
karena besok adalah penutupan, meskipun kami harus menambah jatah menginap satu
malam lagi karena akan melakukan perjalanan wisata ke jakarta.
Aku teringat akan sahabatku amril,
aku berniat untuk menjenguknya pagi ini sambil memberikan salam terakhir atas
pertemuan ini, karena mungkin dia dan kontingennya akan pulang sore hari,
sementara kami esoknya. Aku bergegas menuju tenda kabupaten luwu timur, dan
pemandangan yang aku lihat sungguh mengagetkan. Kapling tenda mereka sudah
lapang, sangat – sangat lapang, yang tersisa tinggallah tali - tali jemuran dan
plastik – plastik kresek yang sudah menjadi sampah. Amril sahabatku tak aku
temukan, aku tak tahu kenapa ia tak pamitan dulu denganku, apakah ia tak
menganggapku sahabatnya atau sakitnya makin parah, sehingga ia tak bisa
mengunjungi tendaku untuk terakhir kalinya?. Amril aku menyesal tidak
mengantarmu pulang saat kau sakit. Aku pulang dengan penyesalan yang amat
sangat dan akupun heran mengapa harus seperti ini, mungkin inilah yang disebut
persahabatan masa muda atau lebih pada rasa bersalahku meninggalkan sahabat
baik saat dia sedang sakit. waktu itu
kami masih kelas tiga SMP. Tidak ada lagi amril yang hangat dan akrab, tidak
ada lagi cerita tentang kebudayaan kami, tidak ada lagi duduk – duduk berdampingan,
dantidak ada lagi pelajaran bahasa daerah.
Aku kembali melihat aditya dan
rangga, mereka persis seperti kami, aku hanya berharap puisi yang aditya tulis
akan menjadi kenyataan untuk selamanya. aku berharap mereka seperti kami yang sangat
tulus menjadi teman dan saling melengkapi, namun aku tidak berharap mereka
memiliki ujung cerita seperti kami yang harus berpisah dalam keadaan genting
karena ada kepentingan lain. padahal salah satu diantara kami sangat
membutuhkan salah satu yang lainnya. Kututup kisah ini dengan kembali pada
kisahku dan amril. Siang itu, setelah aku kembali dari tenda kontingen luwu
timur yang hanya meyisakan taki – tali jemuran yang sudah berantakan, salah
satu temanku satu kontingen yang bernama ruslan memanggilku dan menyampaikan
sebuah pesan :
“radan,,,”
“iya, ada apa rus ?”
“Kemarin sore ada yang mencarimu,
dia memakai ransel besar dan sepertinya mau pulang,
kami Cuma bilang kamu belum datang dari kegiatan, dan dia hanya menyampaikan salam”
“oh ya? Siapa namanya?”
“Amril”.
SRS,
28022012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar