Selasa, 13 Maret 2012

KULIHAT KAMI DALAM KALIAN


KULIHAT KAMI DALAM KALIAN
            Secangkir teh panas menemani pagi hariku yang dingin ini, rasanya pontianak sedang berada diluar kebiasaannya yang sering membagikan suhu yang panas bagi orang rantau sepertiku. Maklum saja kotaku yang berjarak empat jam dari kota ini cukup dingin dibanding kota yang aku tumpangi untuk menimba ilmu sekarang. Ya, pontianak memang sangat panas.
            Dering ponselku terdengar diruang kamar tidur dan sepertinya itu adalah nada untuk sms. setelah kubaca ternyata aku diminta untuk menjadi  salah satu dari panitia sebuah pelatihan menulis dikota ini. aku harus menerimanya dikarenakan pelatihan ini diadakan oleh sebuah lembaga kepenulisan tempat aku bernaung. Tidak terlalu sulit memang menerima tawaran ini, namun terkadang pikiran dan konsentrasiku selalu terpecah saat harus membagi waktu antara kuliah dan agenda kepanitian yang bukan pada pelatihan ini saja aku harus bertanggung jawab. Setidaknya ada tiga agenda yang cukup besar harus aku jalani sebagai bagian dari panitianya. hanya saja aku selalu berusaha menikmati setiap waktu yang aku jalani dengan tugas – tugas yang diamanahkan padaku sehingga semuanya berjalan sebagai mana mestinya.
***
            Yang kutahu saat ini aku bertindak sebagai MOT dalam pelatihan menulis ini, atau sebutlah sebagai penggerak peserta, aku bertugas mengatur jalannya acara pelatihan ini hingga mencharge kondisi peserta agar kembali bersemangat. dua orang peserta pelatihan ini begitu menyita perhatianku, namanya aditya dan rangga. Mereka adalah dua sahabat yang berada di program studi yang sama, dan satu fakultas denganku. Mereka adalah adik tingkatku, hanya saja berbeda program studi, aditya dan rangga begitu akrab dan aku melihat mereka seakan – akan melihat diriku sendiri dan sahabatku dahulu waktu jambore nasional, namanya amril.
            Sedikit kuceritakan padamu sahabat, aku pernah bergabung dengan kontingen kabupatenku dalam kegiatan jambore nasional. sebuah ajang pertemuan tingkat nasional yang cukup prestisius dalam dunia kepramukaan, khususnya bagi kalangan penggalang. disana aku menemukan seorang teman yang sangat baik bernama amril, dialah sahabatku dari hari pertama kegiatan sampai hari kesembilan, dan disinilah cerita persahabatan itu akan kubagikan pada kalian.
            Pagi itu, lembah manglayang di kota sumedang, jawa barat masih sangat dingin, kutaksir ia mencapai 25 derajat celsius saja, karena aku membandingkannya dengan suhu AC bis yang ternyata masih kalah dingin dengan suhu lembah ini. Aku bahkan tidak berani melepas jaketku saat pertama kali datang dilembah yang sedang menampung 36.000 peserta dari seluruh indonesia ini dan itu belum termasuk para kontingen undangan dari luar negeri yaitu negara – negara sahabat. Manglayang memang jauh berbeda dengan daerahku, apalagi pontianak. Ini menjadi sebuah pengalaman baru buatku ketika pada waktu subuh, aku harus merelakan tubuhku dibalut dengan enam lapis pakaian agar tidak terus  - terusan menggigil.
            Amril, begitu aku mengetahui namanya yang hanya satu kata itu, dia berasal dari kabupaten luwu timur propinsi sulawesi selatan. Hari itu kami sudah langsung akrab, aku merasa jika dia adalah teman yang sudah lama aku kenal, sehingga kami dengan akrabnya selalu pergi kemana – mana bersama. Kami mendapatkan kegiatan yang sama sampai sepuluh hari kedepan dan itu membuatku senang karena aku punya teman yang sudah kukenal. Maklum saja kegiatan ini hanya diwakili oleh satu peserta per satu kabupaten saja, sementara peserta lain memiliki kegiatan masing – masing yang sudah dijadwal oleh panitia. Amril adalah pribadi yang hangat, suka berbagi cerita tentang daerahnya dan aku juga begitu, kami selalu bertukar pengetahuan tentang budaya dan kebiasaan – kebiasaan daerah, kami begitu kompak sampai duduk saja tidak pernah berjauhan. Itu yang aku lihat pada aditya dan rangga, mereka begitu kompak sampai untuk wudhu saja mereka saling tunggu. Sebuah persahabatan yang luar biasa, aku menemukan persahabatnku dengan amril seperti mereka saat ini, mereka saling dukung, saling bantu dan saling berbagi.  tanpa sengaja pada sesi menulis puisi dadakan untuk sahabat, aku menyuruh aditya untuk maju kedepan membacakan karyanya, dia mengkhusushkan puisinya itu untuk sahabatnya, rangga. isinya begitu sedehana, namun begitu dalam. Aku, merasakan amrillah yang sedang membacakan puisi itu untukku.
***
Kami selalu bersama
Apapun kami lalui berdua
Meskipun itu badai, hujan, dan angin
            Kuakui aku harus meneteskan airmata saat mengenang kata – kata itu, amril sahabatku tidak bisa bersamaku mengikuti kegiatan pada hari kesepuluh, hari terakhir kegiatan kami. Padahal hari itu adalah jadwal kami untuk mengunjungi kabupaten bandung, kampus STT telkom, dan padepokan seni wayang golek seniman terkenal yaitu asep sunandar sunarya. Pagi dihari kesepuluh itu, aku menjemputnya di tenda kontingen mereka, kulihat ia masih tertidur di sleeping bag milik pembinanya, ketika kutanya pembinanya ternyata amril sedang sakit. Dia muntah – muntah dari tadi malam, mungkin karena masuk angin. Keberangkatan kami memang masih satu jam lagi, aku berjanji untuk kembali ketendanya saat akan berangkat ke halte bis yang akan membawa kami. Dan tahukah kalian sahabatku, aku senang sekali ia bisa ikut bersamaku dan rombongan. Memang kondisinya sedikit lemas, tapi itu tidak mengurangi sedikitpun kehangatan yang biasa ia bagi padaku, dia memang sahabat yang baik.
            Matahari kulihat mulai beranjak naik, waktu itu sudah hampir pukul delapan pagi atau tepatnya dua puluh menit sebelum keberangkatan, aku semakin tidak sabar untuk pergi, kulihat amril hanya menunduk dan semakin lemas. Amril sahabat baikku semakin memburuk kondisinya, ketika kutanya dia hanya bilang pusing dan tidak lama setelah itu dia muntah – muntah. Aku panik dengan kondisinya, sampai lima menit sebelum keberangkatan dia memutuskan untuk tidak jadi ikut dan memutuskan pulang ke tendanya.  aku menawarkan diri untuk mengantar, namun ia menolak dengan alasan kalau aku mengantanya maka aku pasti tidak bisa ikut rombongan juga. Memang, jarak antara halte dengan tenda kontingen kabupaten luwu timur sekitar lima belas menit dan aku pasti tidak bisa mengejar waktu. Dengan berat hati aku merelakan ia berjalan, mungkin sedikit kejam aku ini, tapi aku juga harus punya tanggung jawab dengan agendaku. Amril sahabatku berjalan sempoyongan menuju tendanya, dan aku tidak tahu apakah ia baik – baik saja dijalan. Kami pulang dari kegiatan sampai kembali ketenda nyaris memasuki waktu isya, sementara besok adalah hari penutupan, kulihat sudah banyak kontingen yang melepaskan tenda sebelum hari penutupan itu. Seperti  biasa suasana tenda kami begitu ramai dan akrab, semua peserta saling membagi cerita tentang agendanya masing – masing. Termasuk aku, aku dengan bangganya menceritakan kunjunganku ke sekolah tinggi teknologi telkom yang begitu megah itu, dan menyaksikan pementasan wayang yang dimainkan langsung oleh cucu dari asep sunandar sunarya. Malam itu begitu haru, karena besok adalah penutupan, meskipun kami harus menambah jatah menginap satu malam lagi karena akan melakukan perjalanan wisata ke jakarta.
            Aku teringat akan sahabatku amril, aku berniat untuk menjenguknya pagi ini sambil memberikan salam terakhir atas pertemuan ini, karena mungkin dia dan kontingennya akan pulang sore hari, sementara kami esoknya. Aku bergegas menuju tenda kabupaten luwu timur, dan pemandangan yang aku lihat sungguh mengagetkan. Kapling tenda mereka sudah lapang, sangat – sangat lapang, yang tersisa tinggallah tali - tali jemuran dan plastik – plastik kresek yang sudah menjadi sampah. Amril sahabatku tak aku temukan, aku tak tahu kenapa ia tak pamitan dulu denganku, apakah ia tak menganggapku sahabatnya atau sakitnya makin parah, sehingga ia tak bisa mengunjungi tendaku untuk terakhir kalinya?. Amril aku menyesal tidak mengantarmu pulang saat kau sakit. Aku pulang dengan penyesalan yang amat sangat dan akupun heran mengapa harus seperti ini, mungkin inilah yang disebut persahabatan masa muda atau lebih pada rasa bersalahku meninggalkan sahabat baik saat dia sedang sakit.  waktu itu kami masih kelas tiga SMP. Tidak ada lagi amril yang hangat dan akrab, tidak ada lagi cerita tentang kebudayaan kami, tidak ada lagi duduk – duduk berdampingan, dantidak ada lagi pelajaran bahasa daerah.
            Aku kembali melihat aditya dan rangga, mereka persis seperti kami, aku hanya berharap puisi yang aditya tulis akan menjadi kenyataan untuk selamanya.  aku berharap mereka seperti kami yang sangat tulus menjadi teman dan saling melengkapi, namun aku tidak berharap mereka memiliki ujung cerita seperti kami yang harus berpisah dalam keadaan genting karena ada kepentingan lain. padahal salah satu diantara kami sangat membutuhkan salah satu yang lainnya. Kututup kisah ini dengan kembali pada kisahku dan amril. Siang itu, setelah aku kembali dari tenda kontingen luwu timur yang hanya meyisakan taki – tali jemuran yang sudah berantakan, salah satu temanku satu kontingen yang bernama ruslan memanggilku dan menyampaikan sebuah pesan :
            “radan,,,”
            “iya, ada apa rus ?”
            “Kemarin sore ada yang mencarimu, dia memakai ransel besar dan sepertinya mau             pulang, kami Cuma bilang kamu belum datang dari kegiatan, dan dia hanya        menyampaikan salam”
            “oh ya? Siapa namanya?”
            “Amril”.

SRS, 28022012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar